Sistem Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia

 at April 11, 2019    


Dasar Hukum

Dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah Undang-Undang Nomor2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2/2004).


Namun oleh karena UU No. 2/2004 tidak cukup mengatur, khususnya mengatur hukum acara  Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri (PHI), kasasi dan peninjauan pada Mahkamah Agung (kasasi dan PK), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 57, untuk memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap suatu perkara perselisihan hubungan industrial, dalam praktik majelis hakim menggunakan hukum acara yang diatur dalam Undang-Udang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.


Dan berbagai peraturan hukum acara, Surat Edaran Mahkamah Agung, Herzien Indonesis Reglement  (HIR) yang berlaku untuk Jawa dan Madura, Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) yang berlaku untuk daerah diluar Jawa dan Madura, serta Reglement of de Rechtsvordering (Rv) sebagai hukum acara perdata yang berlaku bagi orang Eropa dan Timur Asing yang berada di Indonesia. 


Jenis Perselisihan

Perselisihan hubungan industrial ada 4 (empat) jenis yaitu:

  1. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  2. Perselisihan kepentingan yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
  4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Lembaga 

Lembaga-lembaga penyelesaian perselisihan industrial adalah Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, PHI, Kasasi, dan PK.

Kewenangan Lembaga

Bipartit, Mediasi, PHI, dan PK berwenang menyelesaikan seluruh (4 jenis) perselisihan hubungan industrial yaitu, perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Konsiliasi hanya berwenang menyelesaikan 3 (tiga) jenis perselisihan yaitu, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Arbitrase hanya berwenang menyelesaikan 2 (dua) jenis perselisihan yaitu, perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Dan kasasi hanya berwenang menyelesaian 2 (dua) jenis perselisihan yaitu, perselisihan hak, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja.

Tata Cara Penyelesaian

Tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industri diselesaikan dengan proses sebagai berikut. 

Bipartit

Lakukan perundingan bipartit yaitu, perundingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha secara musyawarah untuk mufakat/sepakat. Jika perundingan mencapai kesepakatan untuk berdamai, buatlah Perjanjian Bersama (PB) dan daftarkan di PHI supaya memperoleh nilai eksekutorial. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus selesai paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan pertama. Jika perundingan tidak terjadi akibat salah satu pihak tidak bersedia melakukan perundingan, menurut pendapat penulis, dihitung sejak tanggal pelaksanaan perundingan yang diminta salah satu pihak dalam surat permohonan perundingan bipartitnya.

Pencatatan Perselisihan

Apabila perundingan gagal maka proses selanjutnya adalah mencatatkan (istilah UU No. 2/2004) atau mendaftarkan perselisihan ke kantor instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan atau Disnaker/Kemnaker. Selanjutnya Disnaker/Kemnaker akan memanggil para pihak untuk melakukan klarifikasi atas perselisihan yang dicatatkan sekaligus bertanya apakah perselisihan diselesaikan melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. 

Sepanjang yang penulis ketahui, sejak berlakunya UU No. 2/2004 sampai sekarang belum pernah penyelesaian perselisihan hubungan industrial diselesaikan melalui lembaga konsiliasi maupun arbitrase. Seluruhnya diselesaikan melalui mediasi.

Mediasi

Anggaplah para pihak memilih penyelesaian melalui mediasi. Selanjutnya mediator akan memanggil para pihak untuk hadir dalam sidang mediasi. Apabila dalam sidang mediasi tercapai kesepakatan untuk berdamai maka mediator akan membantu membuat PB untuk berdamai. Perjanjian Bersama ini juga didaftarkan di PHI untuk memperoleh nilai eksekutorial.

Apabila dalam sidang mediasi gagal untuk berdamai maka mediator mengeluarkan anjuran. Dan apabila para pihak menerima anjuran mediator maka mediator akan membatu membuat PB dan mendaftarkannya ke PHI untuk memperoleh nilai eksekusi. Penyelesaian perselisihan melalui  mediasi harus selesai paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak mediator menerima pelimpahan perselisihan dari Kepala Disnaker/pejabat Kemnaker. 

Konsiliasi dan Arbitrase

Proses penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase tidak dibahas penulis karena sepengetahuan penulis 2 (dua) lembaga penyelesaian perselisihan ini tidak pernah dipilih para pekerja/buruh dan pengusaha untuk menyelesaikan perserlisihan hubungan industrial. Mungkin, karena sangat rumit para pihak harus bersepakat memilih konsiliator atau arbiter yang sama orangnya. Juga biaya arbitrase dan honorarium arbiter.

Pengadilan Hubungan Industrial

Jika anjuran mediator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak maka salah satu pihak mengajukan gugatan ke PHI yang satu provinsi dengan tempat/lokasi kerja pekerja/buruh. Sistem  beracara di PHI sama dengan sistem penyelesaian perkara perdata umum. Dari segi proses ada gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian (bukti surat, saksi, ahli, pemeriksaan setempat), kesimpulan, dan putusan. Dari segi putusan ada putusan gugatan gugur, putusan sela, putusan verstek, dan putusan akhir.

Jika para pihak menerima putusan PHI atau salah satu pihak atau para pihak tidak melakukan upaya hukum kasasi maka putusan PHI menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat dieksekusi. Namun jika salah satu pihak atau para pihak menolak putusan PHI maka salah satu pihak atau para pihak dapat melakukan upaya hukum kasasi. Tapi upaya hukum kasasi hanya boleh terhadap jenis perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan perselisihan kepentingan diajukan melalui upaya hukum peninjauan kembali.

Demikian juga upaya hukum terhadap perselisihan antara SP/SB diajukan melalui upaya hukum peninjauan kembali.

Penyelesaian perselisihan melalui PHI wajib selesai selabta-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Pengalaman penulis, waktu 50 (lima puluh) hari kerja itu tidak cukup. Waktu 50 (lima puluh) hari kerja itu bisa cukup jika dilaksanakan persidangan 2 (dua) kali dalam seminggu. Tapi para pihak tidak bersedia bersidang 2 (dua) kali dalam seminggu dengan kebanyakan alasan tidak cukup waktu 3 (tiga) hari menyusun jawaban, replik, duplik, kesimpulan.

Selain itu, mayoritas panggilan didelegasikan ke Pengadilan Negeri di kota/kabupaten alamat para pihak. Juga kadangkala jumlah saksi para pihak banyak.

Kasasi

Pasal 110 UU No. 2/2004 berbunyi sebagai berikut: “Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:

  1. Bagi pihak yang hadir terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
  2. Bagi pihak yang tidak hadir terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.”.

Pasal 110 ini mempunyai arti paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pembacaan putusan wajib mengajukan permohonan kasasi disertai dengan pemberian memori kasasi di Kepaniteraan PHI-PN pemutus. Jika dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja itu dilewati maka putusan itu menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat dimohonkan untuk dieksekusi.

Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi (Pasal 115 UU No. 2/2004).

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 (SEMA 3/2018), tanggal 16 November 2018, angka II huruf B angka 3 pada pokoknya berbunyi sebagai berikut: Dalam perkara perselisihan hubungan industrial tidak ada upaya hukum Peninjauan Kembali. Surat Edaran ini menimbulkan pertanyaan, jika ada novum atau terdapat 2 (dua) putusan pengadilan yang saling bertentangan atas satu objek perkara PHI, apakah tetap tidak bisa PK?

Sekian. Semoga bermanfaat.

_______

- Tulisan ini disesuaikan penulis pada tanggal 1 September 2021, dengan adanya SEMA 3/2018.

- Penulis adalah Harris Manalu seorang Advokat di bidang hubungan industrial dan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Bandung tahun 2006-2016.