Showing posts with label HUKUM KETENAGAKERJAAN. Show all posts
Showing posts with label HUKUM KETENAGAKERJAAN. Show all posts

Mengapa Sanksi Administratif Yang Diberikan Kepada Perusahaan Yang Tidak Mendaftarkan Pekerjanya Menjadi Peserta BPJS?

 at July 28, 2022    


Pada konsideran menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dinyatakan bahwa sistem jaminan sosial nasional bertujuan untuk  memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam hal ini, termasuklah pekerja. Frasa, memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan, saya garis bawahi.


Untuk mencapai tujuan itu maka Pasal 14 UU BPJS mewajibkan setiap orang menjadi peserta program jaminan sosial. Dan Pasal 15 ayat (1) mewajibkan pengusaha mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS.


Namun timbul pertanyaan, apa sanksinya jika pengusaha tidak mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS?


Sanksinya adalah sanksi administratif. Sanksi administratif ini dimuat dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), berupa teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu, seperti izin usaha, izin mendirikan bangunan, bukti kepemilikan hak tanah dan bangunan.


Jika sanksinya berupa administratif, efektifkah itu memberi perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja? Bukankah sanksi seperti itu menjadi kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan?


Seandainya pengusaha terbukti tidak mendaftarkan sebagian pekerjanya, lalu pemerintah menolak layanan segala perizinan yang diperlukan perusahaan, bukankah perusahaan menjadi tutup dan terjadi PHK besar-besaran?


Kalau terjadi PHK besar-besaran, apakah itu memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja? Tentu tidak. Malah yang terjadi adalah sebaliknya, pemiskinan. Harus diingat, PHK adalah awal dari kemiskinan.


Karenanya, sanksi administratif bagi pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS harus diubah menjadi sanksi pidana sebagaimana dahulu diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.


Jika sanksinya pidana, dampaknya bukan terhadap banyak orang. Perusahaan tidak akan tutup. PHK massal tidak akan terjadi. Dampaknya hanyalah kepada 1 atau beberapa orang masuk penjara, seperti Direktur Utama yang mewakili kepentingan perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan, atau Manager HRD yang tidak mengusulkan kepada jajaran direksi supaya semua karyawan didaftarkan menjadi peserta BPJS.


Dengan memberikan sanksi pidana, maka mengutip Kompas.com, tanggal 24 Juni 2022, 23.113 perusahaan yang tidak patuh menjalankan kewajiban dalam mendaftarkan dan membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan yang disampaikan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo dalam rapat dengan Komisi IX DPR tanggal 22 Juni 2022 tidak terjadi lagi. (hm)

[YouTube] Aturan PKWT dan Uang Kompensasi dalam PP 35/2021

 at June 07, 2022    

SKB Menaker & Kapolri Nomor Kep.275/Men/1989 dan No. Pol Kep 04/V/1989 tentang Jam Kerja dan Upah Lembur Satpam

 at May 27, 2022    

Keputusan Bersama 

Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia dan Kelapa Kepolisian Republik Indonesia 

Nomor Kep.275/Men/1989 dan  No. Pol Kep/04/V/1989

Tentang

Pengaturan Jam Kerja, Shift dan Jam Istirahat serta Pembinaan Tenaga Kerja Satuan Pengamanan (Satpam)

Menteri Tenaga Kerja dan Kelapa Kepolisian Republik Indonesia,

Menimbang: 

  1. Bahwa Tenaga Kerja Satpam merupakan salah satu faktor yang penting di bidang keamanan dan ketertiban di lingkungan Instansi, Proyek, Perusahaan dan Badan Hukum lainnya serta mempunyai kekhususan dalam bidang tugasnya sehingga berada di bawah pembinaan teknis Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa jam kerja bagi tenaga kerja Satpam di lingkungan Perusahaan dan Badan Hukum lainnya belum diatur secara khusus dan pada prakteknya ternyata tidak seragam serta diantaranya ada yang kurang sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan, sehingga sering menimbulkan masalah dan tuntutan di kemudian hari, terutama mengenai pembayaran upah lembur. Untuk itu perlu ditetapkan Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang mengatur jam kerja, shift dan jam istirahat serta pembinaan bagi tenaga kerja Satpam di lingkungan Perusahaan dan Badan Hukum lainnya.

Mengingat: 

  1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;
  2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia;
  3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara;
  4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja;
  5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 7 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1950 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia;
  7. Peraturan Pemerintahan Nomor 8 Tahun 1981 Tentang  Perlindungan Upah;
  8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 64/M Tahun 1988 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan V;
  9. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Kep/72/men/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur.
  10. Keputusan Pangab Nomor Kep/11/P/III/1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara;
  11. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.Pol. Skep/126/XII/1980 tentang Pola Pembinaan Satuan Pengamanan.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: 

  1. Memberlakukan aturan jam kerja termasuk waktu istirahat bagi Tenaga Kerja Satpam di lingkungan Perusahaan dan Badan Hukum lainnya, menjadi tiga shift di mana setiap shift bertugas delapan jam sehari.
  2. Pimpinan Perusahaan dan Badan Hukum lainnya mengatur jam kerja termasuk waktu istirahat bagi setiap Tenaga Kerja Satpam secara bergiliran di masing-masing shift dengan jumlah jam kerja akumulatif tidak lebih dari 40 jam seminggu.
  3. Setiap Tenaga Kerja Satpam yang bertugas melebih jam kerja delapan jam sehari atau melebihi jumlah jam kerja akumulatif 40 jam seminggu, harus sepengetahuan dan dengan Surat Perintah tertulis dari Pimpinan Perusahaan dan Badan Hukum lainnya yang diperhitungkan sebagai jam kerja lembur.
  4. Sebagai unsur penertib dan pengaman Perusahaan atau Badan Hukum lainnya, ketertiban Tenaga Kerja Satpam dalam organisasi non struktural berpedoman kepada petunjuk Kepolisian Negara RI selaku pembina teknis, sedangkan sebagai pekerja pembinaan dan perlindungannya dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja RI.
  5. Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan diperbaiki sebagaimana mestinya.

Ditetapkan Di Jakarta

Pada Tanggal 22 Mei 1989

KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

DRS. MOCH SANOESI

JENDERAL POLISI

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

DRS.COSMAS BATUBARA





Cuti Melahirkan 3 Bulan, Upah Tetap Dibayar

 at May 07, 2022    

-Ilustrasi Perempuan Pekerja Butuh Cuti-

Untuk menjaga kesehatan janin dalam kandungan ibu serta kesehatan ibu dan bayi, negara/pemerintah telah memberi hak istirahat atau cuti melahirkan bagi pekerja/buruh perempuan selama 3 bulan. 

Tiga bulan itu dibagi dalam 2 tahap. Tahap pertama selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan tahap kedua selama 1,5 bulan setelah melahirkan.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyatakan, "Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan."

Dan selama menjalani cuti selama 3 bulan itu pekerja tetap berhak mendapat upah. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c jo. ayat (5) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang pada intinya menyatakan bahwa selama menjalani istirahat atau cuti melahirkan upah tetap dibayar.

Ketentuan di atas adalah ketentuan atau aturan minimal. Apabila diberi misalnya hanya satu setengah bulan atau sama sekali tidak diberikan, atau memberi namun upah tidak dibayar, itu adalah pelanggaran hukum, baik perdata khusus ketenagakerjaan, maupun pidana khusus ketenagakerjaan.

Di Pasal 185 ayat (1) Bagian Kedua Bab IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebut bahwa barang siapa melanggar ketentuan Pasal 82 dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun. Dan di ayat (2)-nya disebut tindak pidana itu merupakan tindak pidana kejahatan.

KLIK video artikel ini di kanal YouTube SAHABAT PHI.

____

Oleh Harris Manalu, S.H.
Advokat

Pelaksanaan Uang Pisah Harus Diatur dalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan atau PKB

 at May 01, 2022    

Berapa Kali PKWT Dapat Dibuat?

 at April 27, 2022    

Pertanyaan ini dapat dijawab, tidak terhingga. Ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020) dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).  Kalau dahulu dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) diatur bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya boleh dibuat sebanyak 3 (tiga) kali: pertama, PKWT awal; kedua, PKWT perpanjangan; dan ketiga, PKWT pembaruan [lihat Pasal 59 ayat (4) dan ayat (6)].

UU 11/2020 mengubah ketentuan Pasal 59 UU 13/2003 dengan meniadakan ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan ayat (6). Sehingga UU 11/2020 tidak mengatur berapa kali PKWT dapat dibuat atau diadakan. Demikian juga jangka waktunya tidak diatur lagi dalam UU 11/2020. Namun dalam PP 35/2021 sebagai turunan UU 11/2020 dalam Pasal 6 ditetapkan jangka waktunya paling lama 5 (lima) tahun, tanpa menyebut berapa kali dapat dibuat selama 5 (lima) tahun itu.

Artinya, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun PKWT dapat dibuat sebanyak 20 (dua puluh) kali jika setiap kali PKWT dibuat/ditandatangani jangka waktunya dibuat selama 3 (tiga) bulan. Dan jangka waktu perbulan juga banyak. Adakah fakta seperti ini? Ada. Fakta itu dapat dilihat dari informasi yang disampaikan pekerja/buruh dalam Channel Sahabat PHI dengan judul konten, "Cara Menghitung THR Karyawan Tetap dan Kontrak Tahunan, Harian, Borongansebagaimana hasil screenshoot berikut.



***



Ganti Rugi Sisa Kontrak Dalam Pasal 62 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Tetap Eksis

 at April 26, 2022    
Pasal 62 UU 13/2003:
"Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja."

Contoh:
Jangka waktu PKWT si A pada PT. X disepakati selama 1 tahun atau 12 bulan dari tanggal 10 Mei 2021 s/d 9 Mei 2022. Gaji si A disepakati Rp5.000.000. Jika PT. X mengakhiri hubungan kerja pada tanggal 10 Januari 2022 maka pengusaha PT. X wajib membayar ganti rugi kepada si A sebesar 4 bulan upah/gaji dari tanggal 10 Januari 2022 s/d 9 Mei 2022 sebesar 4 bulan x Rp5.000.000 = Rp20.000.000. Sebaliknya juga berlaku bagi si A.

Catatan:
Pasal 62 ini tetap berlaku, tidak diubah dan tidak dihapus UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Klik penjelasan tulisan ini di Channel "SAHABAT PHI"
=======

Cara Menghitung THR Karyawan Tetap (PKWTT) dan Kontrak (PKWT) Tahunan, Harian dan Satuan Hasil (Borongan)

 at April 11, 2022    

Dasar Hukum

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP 36/2021);
  2. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (Permenaker 6/2016).

 

Ketentuan dan Syarat dalam Permenaker 6/2016

 

Pasal 2

(1)Pengusaha   wajib  memberikan   THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih. [Pasal 9 ayat (1) PP 36/2021 menyebut: “Tunjangan hari raya keagamaan wajib diberikan oleh pengusaha kepada Pekerja/Buruh”]

(2)THR     diberikan     kepada  Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan PKWTT atau PKWT.

 

Pasal 3

(1)Besaran   THR   ditetapkan sebagai berikut:

a.Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah;

b.Pekerja/Buruh   yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: masa kerja/12 x 1 bulan upah.

(2)Upah terdiri atas komponen upah:

a.upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih; atau

b.upah pokok termasuk tunjangan tetap.

(3)Bagi Pekerja/Buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah 1 bulan dihitung sebagai berikut:

a.Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan;

b.Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

 

Pasal 5

(4)THR wajib dibayarkan oleh Pengusaha paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. (Ketentuan Pasal 7 ayat (4) ini juga diatur dalam Pasal 9 PP 36/2021)


IDULFITRI 1443 HIJRIAH ATAU 2022:

2-3 MEI 2022

PEMBAYARAN THR 2022 PALING LAMBAT:

SENIN, 25 APRIL 2022

 

Pasal 7

(1)Pekerja/buruh    yang   hubungan    kerjanya berdasarkan PKWTT dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.

 

Pasal 8

Pekerja/Buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, berhak atas THR pada perusahaan yang baru, apabila dari perusahaan yang lama Pekerja/Buruh yang bersangkutan belum mendapatkan THR Keagamaan. (Misalnya, perusahaan outsourcing PT. A ke PT. B)

 

Pasal 10

(1)Pengusaha yang terlambat membayar THR dikenai denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. (Ini tidak jelas perhari, perbulan, pertahun atau selamanya sampai dibayar)

 

Pasal 11

(1)Pengusaha yang tidak membayar THR dikenai sanksi administratif.

(Berupa:

-Teguran tertulis;

-Pembatasan kegiatan usaha;

-Penghentian sementara alat produksi;

-Pembekuan kegiatan usaha.)


CARA MENGHITUNG THR

 

1.Karyawan Tetap/PKWTT

Contoh, RINA dan BUDI

    

RINA

Masa Kerja = 1 tahun (12 bulan)

Upah = Rp5.000.000/bulan

THR Rina = Rp5.000.000

 

BUDI

Masa Kerja = 9 bulan

Upah = Rp5.000.000/bulan

THR Budi

= Masa Kerja/12 x Upah Sebulan

= 9/12 x Rp5.000.000

= 0,75 x Rp5.000.000

= Rp3.750.000

 

2.Karyawan PKWT/Kontrak Tahunan

Contoh, LEO dan CIPLUK


LEO

PKWT = 1,5 th dari 2 Des 2020 s/d 1 Juni 2022

Berarti Masa Kerja s/d Idulfitri 2022 tanggal 2 Mei 2022 = 1 tahun lebih 5 bulan

Upah = Rp4.000.000/bulan

THR  = Rp4.000.000


CIPLUK

PKWT = 1 tahun dari 2 Juli 2022 s/d 1 Juli 2022

Masa Kerja s/d Idulfitri 2022 tanggal 2 Mei 2022 = 10 bulan

Upah = Rp4.000.000/bulan

THR = Masa Kerja/12 x Upah Sebulan

= 10/12 x Rp4.000.000

= 0,83 x Rp4.000.000

= Rp3.333.333

 

3.Karyawan PKWT/Kontrak Harian (PHK)

A.Menghitung THR PHL MK 1 Tahun Lebih

Rangga telah bekerja pada PT A dengan pola hubungan kerja PKWT PHL (Pekerja Harian Lepas) sejak 1 Februari 2021 sampai dengan tanggal 24 April 2022 (batas akhir pembayaran THR 2022).

Langkah Menghitung THR Rangga:

1.Hitung Masa Kerja 1 Feb 2021 – 24 April 2022 = 1 thn lebih 2 bulan.

2.Hitung jumlah upah dari tanggal 25 April 2021 s/d 24 April 2022 = 12 bulan.

Misalnya:

-Bulan Ke-1: 25/4/2021 – 24/5/2021 = Rp3.200.000;

-Bulan Ke-2: 25/5/2021 – 24/6/2021 = Rp3.300.000;

-Bulan Ke-3: 25/6/2021 – 24/7/2021 = Rp3.400.000;

-Bulan Ke-4: 25/7/2021 – 24/8/2021 = Rp3.500.000;

-Bulan Ke-5: 25/8/2021 – 24/9/2021 = Rp3.100.000;

-Bulan Ke-6: 25/9/2021 – 24/10/2021 = Rp3.200.000;

-Bulan Ke-7: 25/10/2021 – 24/11/2021= Rp3.500.000;

-Bulan Ke-8: 25/11/2021 – 24/12/2021= Rp3.400.000;

-Bulan Ke-9: 25/12/2021 – 24/1/2022 = Rp3.000.000;

-Bulan Ke-10: 25/1/2022 – 24/2/2022 = Rp3.500.000;

-Bulan Ke-11: 25/2/2022 – 24/3/2022  = Rp3.200.000;

-Bulan Ke-12: 25/3/2022 – 24/4/2022  = Rp3.600.000;

3.Jumlahkan upah 12 bulan itu  = Rp39.900.000

4.Jumlah upah 12 bulan itu bagi 12 bulan = Rp39.900.000 : 12 = Rp3.325.000

THR RANGGA MK 1 TAHUN LEBIH

= Rp3.325.000


B.Menghitung THR PHL Masa Kerja Kurang 1 Tahun

Rendi telah bekerja pada PT A dengan pola hubungan kerja PKWT PHL (Pekerja Harian Lepas) sejak 25/10/2021 s/d 24/4/2022 (batas akhir pembayaran THR 2022).


Langkah Menghitung THR Rendi:

1.Hitung Masa Kerja, 25 Okt 2021 – 24 April 2022 = 6 Bulan

2.Hitung jumlah upah dari 25 Okt 2021 – 24 April 2022:

BULAN:

-Ke-1: 25/10/2021 – 24/11/2021 = Rp3.500.000;

-Ke-2: 25/11/2021 – 24/12/2021 = Rp3.400.000;

-Ke-3: 25/12/2021 – 24/1/2022 = Rp3.000.000;

-Ke-4: 25/1/2022 – 24/2/2022 = Rp3.500.000;

-Ke-5: 25/2/2022 – 24/3/2022 = Rp3.200.000;

-Ke-6: 25/3/2022 – 24/4/2022 = Rp3.600.000;

3.Jumlahkan upah 6 bulan itu = Rp20.200.000;

4.Jumlah upah 6 bulan itu bagi bagi 12 bulan:

Rp20.200.000 : 12 = Rp1.683.333

THR RENDI MK 6 BULAN

= Rp1.683.333

 

4.Karyawan Satuan Hasil/Borongan

Pada angka 4 Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor: M/1/HK.04/IV/2022 tanggal 6 April 2022 disebut sebagai berikut, “Bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil maka upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan upah rata-rala 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.


Berdasarkan angka 4 tersebut maka cara menghitung THR Pekerja Borongan atau Satuan Hasil adalah sama dengan cara menghitung THR Pekerja Harian Lepas (PHL).

 

Selesai.

Semoga bermanfaat.


Klik Penjelasannya Dalam Video Channel SAHABAT PHI:

  1. CARA MENGHITUNG THR KARYAWAN TETAP DAN KONTRAK TAHUNAN, HARIAN DAN BORONGAN
  2. MASALAH THR KARYAWAN KONTRAK/PKWT BERAKHIR SEBELUM HARI RAYA KEAGAMAAN

--------------------------------------

Penulis Harris Manalu, S.H.

Advokat Spesialis Ketenagakerjaan

***


PHK Karena Alasan Efisiensi Ada 2 Macam

 at April 03, 2022    

Klik penjelasan artikel ini dalam channel YouTube "SAHABAT PHI"

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) ada 2 macam pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan efisiensi. Pertama, efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian, dan kedua, efisiensi untuk mencegah kerugian perusahaan.

Bedanya terletak pada besaran uang pesangon (UP). Kalau karena alasan perusahaan mengalami kerugian maka karyawan hanya berhak mendapat UP 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021. Namun, kalau efisiensi untuk mencegah kerugian perusahaan maka karyawan berhak mendapat UP sebesar 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021. Sedangkan besaran uang penghargaan masa kerja (UPMK)  sama. Baik PHK karena alasan efisiensi yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian maupun PHK karena efisiensi untuk mencegah kerugian perusahaan karyawan/pekerja/buruh sama-sama berhak mendapat UPMK sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021. Demikian juga uang penggantian hak (UPH) adalah sama sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021.

Pertanyaannya adalah bagaimana membuktikan kerugian perusahaan? 

Dari Penjelasan Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021 disebut bahwa untuk membuktikan kerugian perusahaan sudah cukup dari hasil audit auditor internal perusahaan seperti bagian keuangan.

Lalu, bagaimana dengan validitas kerugian perusahaan yang hanya dibuat internal perusahaan? Bukankah hal itu dapat dibuat subjektif? Benar. Mungkin saja. Itu makanya, dahulu Pasal 164 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) menetapkan bahwa yang menentukan rugi tidaknya perusahaan adalah akuntan publik (pihak eksternal perusahaan).

Lalu pada PHK karena alasan efisiensi jenis kedua, yaitu mencegah terjadinya kerugian perusahaan, apa ukurannya? Ukurannya cukup adanya potensi atau kecenderungan penurunan produktivitas atau penurunan laba perusahaan. Begitu Penjelasan Pasal 43 ayat (2) PP 35/2021. Artinya, karyawan sah di-PHK jika menurut manajemen perusahaan ada potensi atau kecenderungan perusahaan akan mengalami penurunan produksi atau laba.

Semoga ketentuan PHK karena alasan efisiensi ini tidak dimanfaatkan pihak manajemen untuk melakukan PHK terhadap karyawan yang tidak disukai.

Bunyi Pasal 43 PP 35/2021 sebagai berikut:

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian maka pekerja/buruh berhak atas:

a. uang  pesangon  sebesar   0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b. uang   penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c. uang   penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian maka pekerja/buruh berhak atas:

a. uang   pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b. uang  penghargaan   masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c. uang   penggantian  hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Penjelasan Pasal 43

Ayat (1)

Perusahaan mengalami kerugian dapat dibuktikan antara lain berdasarkan hasil audit internal atau audit eksternal.

Ayat (2)

Efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian ditandai dengan antara lain adanya potensi penurunan produktivitas perusahaan atau penurunan laba yang berdampak pada operasional perusahaan.

_____

Oleh Harris Manalu, S.H.

Advokat Spesialis Hubungan Industrial

=======

Akibat Hukum Pemberlakuan Masa Percobaan Kerja Pada Hubungan Kerja PKWT atau Kontrak

 at February 18, 2022    


Sampai sekarang masih banyak pengusaha menerapkan masa percobaan kerja kepada karyawannya yang hubungan kerjanya tidak tetap atau PKWT. Padahal sejak lama (19 tahun) yang lalu kebijakan percobaan PKWT sudah tidak diperbolehkan, sudah dilarang. Hanya dalam hubungan kerja tetap atau PKWTT yang boleh diterapkan masa percobaan.

Jika ada karyawan atau pekerja atau buruh dalam hubungan kerja kontrak/PKWT menjalani masa percobaan kerja saat ini, apa dampak hukumnya, apa sanksi hukumnya. Mari kita lihat.

Pasal 58 Bagian Kedua Bab IV UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja telah mengatur sebagai berikut:

(1)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

(2)Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.”

Kemudian Pasal 12 PP 35/2021 juga mengatur hal yang sama dengan ketentuan Pasal 58 Bagian Kedua Bab IV UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dan sebetulnya sejak 19 tahun yang lalu larangan masa percobaan kerja bagi PKWT sudah ada diatur dalam UU 13/2003. Hal itu kita jumpai dalam Pasal 58. Pasal 58 itu berbunyi hampir sama dengan UU Cipta Kerja dan PP 35/2021.

Perbedaannya, dalam Pasal 58 ayat (2) UU 13/2003 tidak ada frasa "dan masa kerja tetap dihitung" sebagaimana ada dalam UU Cipta Kerja dan PP 35/2021.  Kita baca misalnya Pasal 58 UU 13/2003:

(1)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

(2)Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum."

Sedangkan UU Ciker mengatur dalam ayat (2)-nya sbb:

"Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung."

Frasa "dan masa kerja tetap dihitung" inilah yang ditambah.

Lalu bagaimana jika pengusaha memberlakukan masa percobaan kerja terhadap karyawannya? Jika pengusaha tetap memperlakukan percobaan dalam hubungan kerja PKWT atau kontrak maka masa kerja percobaan itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.

Dampaknya apa? Misalnya pengusaha memberlakukan masa percobaan selama 3 bulan, lalu setelah masa percobaan itu selesai dan dilanjutkan dengan membuat perjanjian kerja kontak atau PKWT selama 1 tahun atau 12 bulan, maka setelah berakhir PKWT setahun itu karyawan berhak mendapat uang kompensasi sebesar 15 bulan dibagi 12 dikali besar upah sebulan. Jika upah Rp3.000000 maka uang kompensasi sebesar 15/12 x Rp3.000.000 = Rp3.750.000.

Dan jika masa percobaan itu tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan PKWT maka karyawan berhak mendapat uang kompensasi yang disebut percobaan itu sebesar 3 bulan dibagi 12 dikali upah Rp3.000.000 = Rp750.000.

Demikian aturan PKWT dikaitkan dengan penerapan percobaan dan uang kompensasi.

Selesai

Semoga bermanfaat.


Klik video YouTube-nya

______

Oleh Harris Manalu, S.H.

Advokat (Pengacara dan Konsultan Hukum) Ketenagakerjaan

***

Cara Menghitung Pesangon di Indonesia

 at February 12, 2022    

Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja diatur sebagai berikut:
"Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima."

Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 itu saya singkat menjadi PP 35/2021. Dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) PP 35/2021 dapat disimpulkan bahwa pengusaha wajib membayar 3 macam hak karyawan yang mengalami PHK, yaitu:
  1. uang pesangon;
  2. uang penghargaan masa kerja; dan
  3. uang pengantian hak.
Tiga (3) macam hak karyawan itu saya sebut  PESANGON. Saya membedakan istilah pesangon dengan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Kalau saya sebut kata pesangon berarti maksudnya adalah 3 komponen hak karyawan yang mengalami PHK.

Supaya dapat menghitung pesangon seorang karyawan, kita harus terlebih dahulu mengetahui 4 hal: pertama, tentang rumus uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja; kedua, tentang masa kerja karyawan; ketiga, tentang besar upah pokok dan tunjangan tetap karyawan; keempat, tentang alasan PHK; dan kelima, tentang dasar hukum PHK dan besaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.

Sekarang kita lihat dulu rumus perhitungan uang pesangon. Rumus perhitungan uang pesangon diatur pada Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021 sebagai berikut:
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
b.masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
c.masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurangdari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
d.masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
e.masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
f.masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
g.masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
h.masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
i.masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.”

Itu rumus perhitungan uang pesangon. Sekarang kita lihat lagi rumus perhitungan uang penghargaan masa kerja. Rumus perhitungan uang penghargaan masa kerja diatur pada Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021 sebagai berikut:
Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
b.masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
c.masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
d.masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
e.masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
f.masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
g.masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
h.masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah."

Setelah kedua rumus itu kita ketahui baru kita tanya karyawan yang mengalami PHK tentang masa kerjanya berapa lama, berapa tahun, berapa tahun lebih berapa bulan. Dan selanjutnya kita tanya berapa upah pekerja atau para pekerja perbulan, upah pokok dan tunjangan tetap. Setelah itu barulah kita tanya tentang alasan PHK. Menurut pihak pengusaha karena apa, menurut pekerja karena apa.

Setelah kita ketahui alasan PHK-nya barulah kita cari dasar hukum PHK dan besaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Misalnya seorang karyawan kita sebut saja namanya Pak Budi. Pak Budi mempunyai masa kerja 18 tahun 2 bulan. Upah atau gaji pokok dan tunjangan tetap yang dia terima terakhir sebesar Rp5.000.000,-. Menurut Pak Budi PHK itu terjadi karena perusahaan diambilalih (diakusisi) perusahaan lain. Pengusaha hanya memberi uang pesangon 0,5 sesuai ketentuan Pasal 42 ayat (2) PP 35/2021.

Nah, untuk mengetahui berapa besaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja karyawan yang mengalami PHK atas alasan pengambilalihan perusahaan, kita cari di PP 35/2021, di pasal berapa diatur. Dia diatur dalam Pasal 42, sebagai berikut:
"(1)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan pengambilalihan perusahaan maka pekerja/buruh berhak atas:
a.uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);
b.uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan
c.uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).
(2)Dalam hal terjadi pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan syarat kerja dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dan pekerja/buruh berhak atas:
a.uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);
b.uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan
c.uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4)."

Dari keterangan Pak Budi dan 2 norma hukum yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) PP 35/2021 tadi kita ambil dasar hukum yang menjadi perhitungan pesangon Pak Budi adalah ayat (1)-nya.

Nah, sekarang kita hitung pesangon Pak Budi:
1.Menghitung Uang Pesangon (UP):
Tadi masa kerja Pak Budi adalah selama 18 tahun lebih 2 bulan. Kalau masa kerja 18 tahun lebih 2 bulan, berapa bulan upah uang pesangon yang ditetapkan dalam Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021. Kita lihat. Kita cari. i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.

Masa kerja tertinggi dalam perhitungan uang pesangon adalah 8 tahun. Artinya, walaupun masa kerja 9 tahun, 15 tahun atau
32 tahun, uang pesangon hanya dihitung sebesar 9 bulan upah.

Ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a PP 35/2021 menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan pengambilalihan perusahaan maka pekerja/buruh berhak atas: uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

Oleh karena uang pesangon ditetapkan 1 kali sesuai ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan masa kerja 18 tahun lebih 2 bulan mendapat hak 9 bulan bulan upah, dan upah Pak Budi sebesar Rp5.000.000,- maka Pak Budi berhak atas uang pesangon (UP) sebesar:  1 x 9 x Rp5.000.000 = Rp45.000.000,-.

2.Menghitung   Uang   Penghargaan Masa Kerja (UPMK):
Tadi masa kerja Pak Budi adalah selama 18 tahun lebih 2 bulan. Kalau masa kerja 18 tahun lebih 2 bulan, berapa bulan upah UPMK sesuai rumus yang ditetapkan dalam Pasal 40 ayat (3) PP 35. Kita lihat. Kita cari. f. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan Upah;

Masa kerja tertinggi dalam perhitungan uang penghargaan masa kerja adalah 24 tahun seperti di huruf i, masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan Upah. Artinya, walaupun masa kerja 25 tahun, atau 32 tahun, uang penghargaan masa kerja hanya dihitung paling besar 10 bulan upah.

Terkait UPMK, Pasal 42 ayat (1) huruf b PP 35/2021 tadi  menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan pengambilalihan perusahaan maka pekerja/buruh berhak atas: uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3).

Oleh karena UPMK ditetapkan 1 kali sesuai ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf b, dan masa kerja 18 tahun lebih 2 bulan mendapat hak 7  bulan upah sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (3) huruf f PP 35/2021, dan upah Pak Budi sebesar Rp5.000.000,- maka Pak Budi berhak atas uang penghargaan masa kerja (UPMK) sebesar: 1 x 7 x Rp5.000.000 = Rp35.000.000.

3.Menghitung Uang Penggantian Hak (UPH):
1)Cuti Tahunan
Sesuai aturan cuti tahun sebanyak 12 hari dalam 1 tahun. Rata-rata sisa cuti tahunan dalam 1 tahun tinggal 6 hari. Kalau upah Rp5.000.000/bulan maka upah perhari sebesar Rp5.000.000 : 25 hari (sebulan) = Rp200.000 x 6 hari = Rp1.200.000,-.
2)Biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat dimana Pekerja/Buruh diterima bekerja.
Ini misalnya 18 tahun yang lalu pekerja atau Pak Budi diterima di Jakarta dan ditempatkan di Timika-Papua. Terjadi PHK. Maka pengusaha wajib membayar biaya/ongkos (pesawat) pulang si pekerja ke Jakarta misalnya sebesar Rp5.000.000,- Ini kalau hanya si pekerja yang di Timika. Kalau istri dan 1 orang anaknya ikut ke Timika maka pengusaha wajib membayar biaya pulang ke Jakarta sebesar: 3 orang x Rp5.000.000 = Rp15.000.000,-.
3)Hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Misalnya dalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) telah diatur apabila pekerja mengalami PHK dengan masa kerja 16 tahun s/d 19 tahun, pekerja berhak mendapat Uang Pisah (UPis) sebesar 4 bulan upah, maka Pak Budi dapat Upis sebesar: 4 x Rp5.000.000 = Rp20.0000.000,-.

Uang pisah ini dapat kalau sudah disepakati atau diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Apabila tidak diatur maka pekerja tidak berhak mendapat uang pisah (Upis).

Dari data-data tadi maka Pak Budi mendapat PESANGON sebesar sebagai berikut:
  1. Uang Pesangon = 1 x 9 x Rp5.000.000 = Rp45.000.000,-;
  2. UangPenghargaan Masa Kerja: 1 x 7 x Rp5.000.000 = Rp35.000.000,-;
  3. UPH Cuti Tahunan: Rp5.000.000 : 25 hari x 6 hari = Rp1.200.000,-
  4. UPH Ongkos Pulang: 3 orang x Rp5000.000 = Rp15.000.000,-
  5. UPH Uang Pisah: 4 bulan x Rp5.000.000 = Rp20.000.000,-
Jumlah = Rp116.200.000,-

Demikian cara menghitung pesangon (UP, UPMK dan UPH).

Selesai. Semoga bermanfaat
Klik video YouTube-nya
______
Oleh Harris Manalu, S.H.
Avokat Spesialis Hubungan Industrial
Hakim Ad-Hoc PHI 2006-2016
HP/WA: 0812-8386-580
Email: harrismanalu3@gmail.com 
Channel: SAHABAT PHI
***