Merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004) terdapat cukup banyak perbedaan Mediator, Konsiliator dan Arbiter.
Setelah perundingan bipartit atau perundingan antara pekerja dengan pengusaha mengalami jalan buntu atau gagal, maka pengusaha dan pekerja telah memenuhi syarat formil untuk menyelesaikan perselisihan hubungan kerja atau perselisihan hubungan industrial yang dialaminya ke tahap selanjutnya yang sering disebut tripartit dengan memilih 1 diantara 3 pilihan, yaitu apakah melalui jalur mediasi, konsiliasi, atau jalur arbitrase.
Nama jabatan bagi orang yang menjalankan fungsi, tugas, kewenangan, dan tanggungjawab mediasi itu disebut Mediator. Dan jabatan bagi orang yang menjalankan fungsi, tugas, kewenangan, dan tanggungjawab konsiliasi itu disebut Konsiliator. Sedangkan nama bagi orang yang menjalankan fungsi, tugas, kewenangan, dan tanggungjawab arbitrase itu disebut Arbiter.
Pasal 1 angka 12 UU 2/2004 menyebut pengertian Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Kemudian Pasal 1 angka 14 UU 2/2004 menyebut pengertian Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Kemudian Pasal 1 angka 16 UU 2/2004 menyebut pengertian Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Dari pengertian itu, dapatlah diketahui perbedaannya sebagai berikut:
1. Dari Segi Status
Mediator berstatus sebagai pengawai negeri sipil pada kantor dinas-dinas ketenagakejaan di provinsi, kabupaten/kota, atau kantor kementerian ketenagakerjaan. Sedangkan Konsiliator dan Arbiter berstatus sebagai perseorangan swasta yang di angkat oleh Menteri Ketenagakerjaan.
2. Dari Segi Kewenangan
Mediator berwenang menangani 4 jenis perselisihan, yaitu: 1) perselisihan hak; 2) perselisihan kepentingan; 3) perselisihan PHK; dan 4) perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Sedangkan Konsiliator hanya berwenang menangani 3 jenis perselisihan, yaitu: 1) perselisihan kepentingan; 2) perselisihan PHK; dan 3) perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dan Arbiter hanya berwenang menangani 2 jenis perselisihan, yaitu: 1) perselisihan kepentingan, dan 2) perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
3. Dari Segi Yang Menentukan Mediator, Konsiliator dan Arbiter
Mediator ditetapkan oleh Kepala Disnaker setempat atau Kepala Unit penyelesaian perselisihan pada Kantor Kementerian Ketenagakerjaan atau Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sedangkan Konsiliator dan Arbiter dipilih dan ditentukan secara bersama-sama oleh pekerja dan pengusaha atas dasar kesepakatan.
4. Dari Segi Wilayah Kerja
Kecuali Mediator pada Kementerian Ketenagakerjaan yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, wilayah kerja Mediator terbatas hanya pada wilayah hukum kantor Disnakernya. Konsiliator, wilayah kerjanya hanya terbatas pada 1 kabupaten/kota. Sedangkan wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
5. Dari Segi Lama Penyelesaian
Mediator menyelesaikan tugasnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan dari Kepala Dinas atau Kepala Unit penyelesaian pada kantor Kementerian Ketenagakerjaan sampai dengan mengeluarkan anjuran. Konsiliator menyelesaikan tugasnya paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan dari para pihak, pekerja dan pengusaha. Arbiter menyelesaikan perselisihan yang ditanganinya paling lambat 30 (tiga pulih) hari kerja sejak penandatanganan surat penunjukan Arbiter.
6. Dari Segi Penghasilan
Mediator mendapat tunjangan jabatan fungsional setiap bulan dari Negara. Misalnya, dalam Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2016 disebut, Mediator Madya mendapat Rp1.260.000,- (satu juta dua ratus enam puluh ribu rupiah), Mediator Muda mendapat Rp960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah), dan Mediator Pertama mendapat Rp540.000,- (lima ratus empat puluh ribu rupiah).
Konsiliator mendapat honorarium atau imbalan jasa dari Negara berdasarkan jumlah kasus yang ditangani. Misalnya, dalam Kepnakertrans Nomor 18 tahun 2014 disebut, honorarium atau imbalan jasa bagi Konsiliator sebesar Rp3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap kasus yang ditangani.
Sedangkan Arbiter mendapat honorarium dari para pihak yang berselisih, pengusaha dan pekerja, yang besarnya dituangkan dalam surat perjanjian penunjukan Arbiter.
7. Dari Segi Output atau Hasil Persidangan
Mediator dan Konsiliator menghasilkan atau mengeluarkan ANJURAN yang sifatnya tidak mengikat pengusaha dan pekerja. Sedangkan Arbiter mengeluarkan PUTUSAN yang sifatnya final dan mengikat pekerja dan pengusaha.
8. Dari Segi Upaya Hukum
Upaya hukum terhadap Anjuran Mediator dan Konsiliator adalah gugatan di pengadilan hubungan industrial. Sedang terhadap putusan Arbiter, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan Arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur seperti: surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; atau setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan; atau putusan melampaui kekuasaan arbiter; atau putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
___
Oleh Harris Manalu, S.H.