REPLIK
Perkara Nomor XXX/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Jkt.Pst
Antara
AB --------------------------------- sebagai Penggugat;
Lawan
PT. X -------------------------------- sebagai Tergugat;
============================
Jakarta, 19 September 2019
Kepada Yth,
Majelis Hakim Perkara Nomor XXX/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Jkt.Pst
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Jl. Bungur Raya No. 24, 26, 28 Kemayoran
JAKARTA PUSAT
Dengan hormat,
Perkenankan kami: HARRIS MANALU, S.H., Advokat pada Law Office Harris Manalu & Partners, beralamat di Jl. Masjid Al-Akbar Bunder I No. 119 A, Munjul, Cipayung, Jakarta Timur-13850, Telp.: 0812 8386 580, 0897 8158 038, E-mail: adv.harris.manalu.sh@gmail.com, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 12 Agustus 2019, dari dan karenanya bertindak untuk dan atas nama AB selaku Penggugat mengajukan Replik atas Jawaban Tergugat: PT. X, dalam perkara Nomor XXX/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Jkt.Pst, tanggal 14 Agustus 2019, sebagai berikut:
Sebelum Penggugat menguraikan dalil-dalil terhadap pokok perkara a quo, Yang Mulia, perkenankan Penggugat terlebih dahulu mengajukan keberatan atas pernyataan kuasa Tergugat dalam surat jawabannya pada halaman 1 yang menyatakan pada pokoknya bahwa perbaikan surat kuasa khusus Tergugat untuk perkara a quo “telah disetujui” oleh Majelis Hakim dan Penggugat;
Bahwa Penggugat keberatan atas pernyataan Tergugat tersebut. Penggugat tidak pernah menyatakan menyetujui perbaikan surat kuasa khusus sebagaimana yang dinyatakan Tergugat. Dan sepengetahuan Penggugat, juga Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo tidak pernah menyatakan persetujuannya atas perbaikan surat kuasa Tergugat. Jika kuasa Tergugat misalnya menyatakan bahwa “surat kuasa mana telah diperbaiki dihadapan Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo dan juga dihadapan kuasa Penggugat” adalah dapat diterima karena berbeda makna dan implikasi hukumnya;
Bahwa pernyataan Tergugat sedemikian adalah berlebihan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Kuasa Penggugat hanya melihat dilakukannya perbaikan surat kuasa Tergugat dihadapan Majelis Hakim dalam persidangan Kamis, 12 September 2019, tidak ada pernyataan “setuju”;
Bahwa keberatan a quo perlu dikemukakan dalam Replik ini agar kejadian serupa di sidang Mediasi Sudin Nakertrans Jakarta Selatan tidak terus berulang. Risalah Mediasi dalam waktu 7 (tujuh) hari kemudian harus dirobek dan diganti yang baru karena kuasa Tergugat dalam Risalah menulis pendapatnya bahwa “skorsing yang dilakukan Perusahaan terhadap Sdr. AB (sekarang Penggugat) sudah disetujui oleh Kasie Hubungan Industrial & Kesejahteraan Pekerja Kantor Sudin Nakertrans Jakarta Selatan”. Padahal Kasie dimaksud tidak pernah menyatakan persetujuannya untuk dilakukan Tergugat tindakan skorsing kepada Penggugat;
DALAM KONVENSI
1.Bahwa Penggugat secara tegas menolak seluruh dalil-dalil Tergugat dalam surat jawabannya, kecuali terhadap dalil-dalil yang secara tegas diakui kebenarannya oleh Penggugat;
Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
2.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 1, 2, 3, 4, dan 5 adalah tidak benar, baik dari segi fakta maupun menurut hukum, atas alasan sebagai berikut:
2.1.Jika dibaca dalil jawaban Tergugat angka 2, 3, dan 4 serta dipertegas Tergugat dalam dalil angka 12.2 maka PKWT antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi/dibuat sebanyak 4 (empat) kali (4 periode) tanpa jeda, dalam jangka waktu sebagai berikut:
-Periode Kesatu, tanggal 5 Mei 2008 s/d 4 Mei 2009 selama 1 (satu) tahun dalam PKWT berbahasa Inggris berjudul “CONTRACT OF EMPLOYMENT” No.: PGR/IT/068/May/08 (tanpa tanggal);
-Perode Kedua, tanggal 5 Mei 2009 s/d 30 Juni 2009 selama 1 (satu) bulan 25 (dua puluh lima) hari;
-Periode Ketiga, tanggal 1 Juli 2009 s/d 31 Desember 2009, selama 6 (enam) bulan;
-Periode Keempat, tanggal 1 Januari 2009 (mungkin maksudnya tahun 2010 s/d 30 Juni 2010, selama 6 (enam) bulan dalam PKWT No.: 014/PGR/OPR/Jan/2010, tanggal 30 Desember 2009;
2.2.Bahwa sekadar mengingatkan, barangkali Tergugat lupa, terminologi “perubahan” dalam PKWT tidak ada, melainkan “perpanjangan” atau “diperpanjang” atau “memperpanjang”, dan “pembaruan”. Tidak tepat Tergugat menyamakan terminologi “perubahan” dengan “diperpanjang” (vide Pasal 59 UU Ketenagakerjaan);
2.3.Bahwa sejak Penggugat terikat hubungan kerja dengan Tergugat tanggal 5 Mei 2008 s/d 30 Juni 2010, sesuai fakta Penggugat hanya menandatangi 2 kali surat PKWT, yaitu CONTRACT OF EMPLOYMENT No.: PGR/IT/068/May/08 dan PKWT No.: 014/PGR/OPR/Jan/2010, sebagaimana yang diuraikan Penggugat dalam dalil gugatan angka 1, 2, dan 3. Jikapun ada sebanyak 4 (empat) kali sebagaimana yang didalilkan Tergugat, Penggugat tidak pernah mendapat 1 (satu) rangkap Amandemen PKWT yang dimaksud Tergugat, yaitu Amandemen tertanggal 5 Mei 2009 dan Amandemen tertanggal 29 Juni 2009;
2.4.Bahwa pekerjaan yang dikerjakan Penggugat pada Tergugat adalah bersifat tetap dibidang Teknologi dan Informasi (Information and Technology/IT);
2.5.Bahwa berdasarkan fakta-fakta sebagaimana diuraikan dalam angka 2.1, 2.2, dan 2.3, dan 2.4 tersebut di atas, dimana:
-PKWT dilaksanakan sebanyak 4 (empat) kali dengan perpanjangan sebanyak 3 (tiga) kali yang dilarang ketentuan Pasal 59 ayar (4) UU Ketenagakerjaan; dan,
-Pembaruan PKWT tidak ada; dan
-Pekerjaan yang dikerjakan Penggugat pada Tergugat adalah bersifat tetap yang dilarang ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan;
maka berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, demi hukum PKWT antara Penggugat dengan Tergugat sejak tanggal 5 Mei 2008 s/d 30 Juni 2010 menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT);
2.6.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 14 yang pada pokoknya menyatakan “... apabila Penggugat mendalilkan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat dalam jangka waktu terhitung sejak tanggal 5 Mei 2008 sd 30 Juni 2010 tidak sah dan batal demi hukum, artinya antara Penggugat dan Tergugat tidak terikat adanya suatu hubungan kerja apapun, sehingga Penggugat wajib mengembalikan gaji/upah yang telah Penggugat terima dari Tergugat selama periode masa kerja tersebut, yang artinya lebih jauh lagi, Penggugat telah menerima/menampung uang/dana dari Tergugat dengan tanpa dasar dan alas hak yang sah”, adalah dalil asal-asalan tanpa landasan teori hukum apapun dan dasar hukum apapun, sehingga dalil Tergugat tersebut adalah beralasan hukum untuk dikesampingkan;
2.7.Bahwa argumentasi hukum Tergugat sebagaimana disebut dalam angka 2.6 adalah menunjukkan ketidaktahuan Tergugat atas berbagai peraturan perundang-undangan bidang perburuhan yang berlaku sejak tanggal 5 Mei 2008 sampai dengan saat ini, sehingga seenaknya manafsirkan dan memakai hukum sesuai “selera” atau kepentingan. Alangkah tidak argumentatifnya dalil Tergugat yang sedemikian. Jika Penggugat mendalilkan PKWT dari tanggal 5 Mei 2008 s/d 30 Juni 2010 tidak sah dan batal demi hukum, bukan berarti tidak ada hubungan kerja, ada, tapi berimplikasi menjadi hubungan kerja yang bersifat tetap atau PKWTT. Karenanya tidak tepat dalil Tergugat yang menyatakan Penggugat menampung dana/uang dari Tergugat tanpa alas hak. Bahkan dalil sedemikian adalah dalil tanpa lebih dahulu mempertimbangkan aspek moralitas, patut atau tidak dikemukakan seperti itu. Terlalu sesat dari jalan hukum yang benar;
2.8.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 15 yang pada pokoknya menyatakan: pertama, Penggugat menolak dan tidak bersedia menandatangani surat Amandemen PKWTT No.: 008/PKWTT/PGR/OPS/Juli/2010 yang ditandatangani Direktur Eksekutif tanggal 6 Februari 2019, kedua, dalam pokok perubahan perjanjian tersebut tidak ada satupun kalimat yang menyatakan adanya perubahan status PKWTT menjadi PKWT, ketiga, “tulisan “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu” yang tertulis di paragraf awal dan akhir dari amandemen PKWTT tertanggal 6 Februari 2019 merupakan suatu typographical error (salah ketik) semata”, keempat, kesalahan ketik itu sudah disampaikan Tergugat secara lisan kepada Penggugat dalam pertemuan dan diskusi tanggal 6 Februari 2019, kelima, bukti tidak ada perubahan status PKWTT menjadi PKWT dapat dilihat dari isi Internal Memo Tergugat No.: 007/Ops-HR/Peb/2019, tanggal 28 Februari 2019, subjek penurunan posisi dan penurunan gaji, keenam, berdasarkan beberapa surat elektronik (e-mail) Tergugat hanya bermaksud melakukan demosi dan menurunkan upah/gaji, adalah tidak mempunyai alasan hukum yang benar, atas alasan sebagai berikut:
2.8.1.Hukum tidak dapat mempersalahkan Penggugat atas penolaknnya menandatangani surat Amandemen PKWTT No.: 008/PKWTT/PGR/OPS/Juli/2010. Penggugat mempunyai hak menolak. Suatu perjanjian apapun wajib dibuat dalam keadaan bebas sesuai ketentuan Pasal 1320 huruf a KUHPerdata. Suatu perjanjian adalah dilarang jika terdapat unsur paksaan, baik paksaan terhadap fisik maupun terhadap psikis;;
2.8.2.Bahwa:
-surat perubahan perjanjian yang berjudul: “PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU”;
-dalam surat jawabannya Tergugat menulis judul perubahan perjanjian adalah “PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU” (vide dalil jawaban angka 15.1), sedangkan yang diterima Penggugat berjudul “PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU”;
-adanya kalimat dalam surat perubahan tersebut seperti ini: “Atas kesepakatan kedua belah pihak, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Saudara diperbaharui ...., dan “Klausula lain yang termuat dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ... No.: 008/PKWTT/PGRS/OPS/Juli/2010 ...”;
-dalil Tergugat yang menyatakan “tulisan “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu” yang tertulis di paragraf awal dan akhir dari amandemen PKWTT tertanggal 6 Februari 2019 merupakan suatu typographical error (salah ketik) semata”;
-dalil Tergugat yang menyatakan kesalahan ketik itu sudah disampaikan Tergugat secara lisan kepada Penggugat dalam pertemuan dan diskusi tanggal 6 Februari 2019;
-tidak adanya perubahan status PKWTT menjadi PKWT dapat dilihat dari isi Internal Memo Tergugat No.: 007/Ops-HR/Peb/2019, tanggal 28 Februari 2019, subjek penurunan posisi dan penurunan gaji;
-dalil Tergugat yang menyatakan bahwa berdasarkan beberapa surat elektronik (e-mail) Tergugat hanya bermaksud melakukan demosi dan menurunkan upah/gaji;
maka semakin tampak sempurnalah bukti bahwa Tergugat bermaksud merubah status hubungan kerja Penggugat dari PKWTT menjadi PKWT. Jika tidak ada maksud Tergugat merubah status hubungan kerja Penggugat, lalu mengapa sejak tanggal diketahui terdapat kesalahan surat perubahan perjanjian itu tidak diperbaiki dengan surat yang benar (tidak ada kesalahan), setidak-tidaknya sejak tanggal 6 Februari 2019 ketika Penggugat melalui Kepala Unit People & Office Management memberitahu secara lisan kepada Penggugat bahwa terjadi kesalahan ketik sampai dengan sebelum perkara a quo didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 14 Agustus 2019. Sebagai lembaga yang besar, lembaga yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional dan pemerintahan negara-negara asing, dan sesuai pula dengan nama lembaganya, Penggugat memandang Tergugat adalah lembaga yang sangat profesional dalam pengelolaan manajemen administrasi. Jika tidak profesional tidak mungkin lembaga-lembaga internasional dan pemerintahan negara-negara asing bersedia bekerjasama dengan lembaga yang memakai nama PT. X untuk menata atau memperbaharui tata kelola pemerintahan Indonesia. Tergugat pasti mengetahui surat yang salah akan berdampak hukum buruk terhadap pihak yang ikut sebagai pihak dalam perjanjian, karena akan ditafsirkan kemudian sesuai selera atau kepentingan pihak yang lebih kuat secara ekonomi dan psikologis. Oleh sebab itu dalil-dalil jawaban Tergugat dalam angka 1, 2, 3, 4, 5, 14 dan 15 haruslah ditolak;
Tentang Daluwarsa
3.Bahwa dalil jawaban Tergugat pada angka 7.3.3 s/d angka 9, halaman 5 s/d 11, yang pada pokoknya menyatakan tuntutan Pengugat mengenai perubahan status hubungan kerja PKWT menjadi PKWTT telah lewat batas waktu penuntutannya atau daluwarsa, adalah tidak mempunyai alasan dan dasar hukum yang benar, atas alasan sebagai berikut:
3.1.Bahwa Pasal 96 UU Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut: “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak”;
3.2.Bahwa amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 100/PUU-X/2012 pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3.3.Bahwa amar putusan Mahkamah tersebut didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: “Bahwa upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja. Oleh sebab itu upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat dihapus karena adanya lewat waktu tertentu. Oleh karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai prestatie harus diimbangi dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja sebagai tegen prestatie. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan”;
3.4.Bahwa Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 1/Men/I/2015 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 atas Pasal 96 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bukanlah norma hukum sebagaimana dimaksud Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tersebut hanyalah bersifat pengumuman kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota, in casu Mediator Hubungan Industrial pada Kantor Pemerintah yang mengurusi bidang ketenagakerjaan di tingkat Kota, Kabupaten, Provinsi, dan Kementerian Ketenagakerjaan bahwa Mahkamah Konstitusi RI telah menyatakan Pasal 96 UU Ketenakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat lagi. Artinya, secara hukum Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tersebut tidak mengikat Mediator untuk wajib apa yang diumumkan dalam surat edaran tersebut. Apalagi Hakim (yudikatif) yang berada diluar lembaga eksekutif (Kementerian Ketenagakerjaan) tidak dapat menjadikan surat edaran tersebut sebagai dasar hukum dalam mengadili dan memutus suatu sengketa/perkara perselisihan hubungan industrial. Bahkan para Hakim pun dalam berbagai pertimbangan hukum dalam putusannya, Surat Edaran Mahkamah Agung hanya dijadikan sebagai sumber penemuan hukum yang kosong. Sedangkan terkait ketentuan tentang hukum daluwarsa atas tuntutan upah dan hak-hak lainnya yang timbul atas adanya hubungan kerja sudah jelas dan tegas konstitusionalitasnya, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 100/PUU-X/2012;
3.5.Bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 02/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Dps yang dijadikan Tergugat sebagai pendukung alat buktinya untuk menolak gugatan Penggugat tentang tuntutan perubahan status hubungan kerja dari PKWT (5 Mei 2008 s/d 30 Juni 2010) menjadi PKWTT, adalah tidak mempunyai relevansi karena peristiwa hukumnya berbeda. Dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 02/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Dps ditemukan fakta bahwa pekerja/buruh telah diputus hubungan kerjanya oleh pemberi kerja/pengusaha pada tanggal 31 Agustus 2008, sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 100/PUU-X/2012 dibacakan pada tanggal 19 September 2013, dan pekerja/buruh baru mengajukan gugatan pada tanggal 13 Februari 2018. Artinya, dalam perkara Nomor 02/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Dps tersebut, pekerja/buruh baru mengajukan gugatan setelah 10 (sepuluh) tahun diputus hubungan kerjanya oleh pengusaha/pemberi kerja. Sedangkan hubungan kerja Penggugat dalam perkara a quo tidak pernah diputus oleh Tergugat. Karenanya, Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 02/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Dps haruslah dikesampingkan karena tidak mempunyai relevansi hukum dengan perkara yang dialami Penggugat, atau peristiwa hukumnya adalah berbeda;
3.6.Bahwa dalil jawaban Tergugat pada halaman 9 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Penggugat menuntut perubahan status dari PKWT (sejak tanggal 5 Mei 2008) menjadi PKWTT adalah dengan orientasi mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang lebih 1 (satu) bulan upah/gaji {atau jika dirupiahkan sekitar Rp 24.678.700 (upah sebulan + uph 15%)} jika dibandingkan PHK dihitung masa kerja sejak tanggal 1 Juli 2010, adalah dalil asal-asalan tanpa alasan hukum yang logis dan/atau benar. Dalil sedemikian adalah dalil tanpa mempertimbangkan apa yang patut secara moral dikemukakan. Moral Penggugat bukan seperti moral Tergugat. Penggugat tidak berharap terjadi PHK. Penggugat hanya berharap Tergugat mengembalikan status Penggugat menjadi PKWTT, mengembalikan jabatan Penggugat menjadi IT Manager, dan mengembalikan upah/gaji Penggugat menjadi Rp 21.458.000,-. Kenapa Penggugat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja, karena Tergugat memperlakukan Penggugat bagaikan barang mati atau objek semata, bukan subjek yang mempunyai hak atas kebebasan menentukan pilihan tetap bekerja atau tidak, hak untuk berunding, hak untuk menentukan menerima atau menolak sesuatu, hak untuk mengajukan tuntutan, hak asasi manusia, dan hak perlindungan hukum. Dan dalam sidang mediasi perkara a quo yang diadakan di Kantor Sudin Nakertrans Jakarta Selatan, adalah fakta bahwa Tergugat telah menawarkan kompensasi (total) sekitar Rp 90.000.000,- (Sembilan puluh juta rupiah) kepada Penggugat untuk pengakhiran hubungan kerja, tapi karena jauh dari jumlah uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang dimohonkan Penggugat, pengakhiran hubungan kerja (PHK) dengan jalan damai (PB) tidak tercapai;
Tentang Evaluasi Kinerja
4.Bahwa dalil jawaban Tergugat pada angka 17 s/d 38 yang pada pokoknya menyatakan Tergugat berhak melakukan evaluasi/menilai kinerja Penggugat, ketidakberadaan KPI tiak menghalangi hak Tergugat untuk melakukan evaluasi kinerja Penggugat, Tergugat berhak melakukan restrukturisasi organisasi dirinya, Penggugat telah berlaku tidak adil, semena-mena dan mau menang sendiri terhadap Tergugat karena selama ini tidak pernah keberatan/protes terhadap evaluasi kinerja yang dilakukan Tergugat yang berpedoman pada TOR Penggugat, dan belum pernah berdasarkan KPI atau prinsip 360 derajat sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Peraturan Kepegawaian, Tergugat telah menjalankan prinsip kehati-hatian sebelum melakukan demosi dan penurunan gaji Pekerja, dan hasil evaluasi kinerja Penggugat adalah “Kinerja Tidak Memuaskan” merupakan fakta nyata dan sah menurut hukum, ketentuan mengenai demosi diatur, baik dalam Peraturan Kepegawaian, PKWTT No.: 008/PKWTT/PGR/OPS/JULI/2010, maupun Pasal 32 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, Penggugat telah menyetujui adanya demosi dari IT Manager menjadi IT Officer, adalah dalil yang mengada-ada tanpa alasan dan dasar hukum yang benar, dengan alasan sebagai berikut:
4.1.Bahwa siapapun mengetahui Tergugat berhak melakukan evaluasi atau menilai kinerja Penggugat. Penggugat tidak pernah mempermasalahkan hak Tergugat untuk melakukan evaluasi/menilai kinerja Penggugat, tapi proses penilaian tersebut haruslah sesuai dengan Peraturan Kepegawaian;
4.2.Bahwa ketiadaan Key Performance Indicator (KPI) mengakibatkan hasil evaluasi menjadi subjektif dan tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Key Performance Indicator adalah satu set ukuran kuantitatif yang digunakan perusahaan atau organisasi untuk mengukur atau membandingkan kinerja dalam hal memenuhi tujuan strategis dan operasional. Tergugat (Kemitraan) hanya menggunakan Term of Reference (TOR) yang bukan merupakan suatu set ukuran. Sesuai namanya, TOR hanyalah Kerangka Acuan. Suatu set ukuran haruslah SMART yaitu Specific (spesifik), Measurable (terukur), Achievable (bisa dicapai), Realistic (realistis), Time-bound (ada batasan waktu). Term of Reference tidaklah SMART dan harus dikonversi terlebih dahulu menjadi KPI untuk bisa dijadikan sebagai suatu set ukuran;
Contoh mengkonversi TOR menjadi KPI yang SMART untuk menilai kinerja adalah sebagai berikut:
Misalkan kita ambil 1 (satu) item dari masing tugas dan tanggung jawab yang tercantum di TOR IT Manager untuk dijadikan KPI tahun 2018. (Tiap tahun KPI bisa berbeda-beda sesuai kebutuhan):
1)Memastikan implementasi strategi TI dan berfungsinya secara efektif paket perangkat keras dan perangkat lunak organisasi yang berfokus pada pencapaian hasil-hasil berikut:
-Memperkenalkan dan menerapkan teknologi baru untuk mendukung proses bisnis yang efektif;
2)Memastikan administrasi jaringan yang efisien berfokus pada pencapaian hasil berikut:
-Peningkatan Infrastruktur LAN dan konektivitas Internet tepat waktu untuk memenuhi kebutuhan pengguna;
3)Menyediakan layanan manajemen web yang berfokus pada pencapaian hasil berikut:
-Mengidentifikasi peluang dan cara mengubah proses bisnis menjadi sistem berbasis web untuk mengatasi masalah efisiensi (sistem manajemen kantor, perangkat lunak profil donor, sistem manajemen pengetahuan);
4)Memberikan dukungan administratif yang berfokus pada pencapaian hasil berikut:
-Pemeliharaan inventaris perangkat lunak dan perangkat keras terbaru;
5)Memastikan memfasilitasi pembentukan pengetahuan (knowedge building) dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) yang berfokus pada pencapaian hasil-hasil berikut:
-Pengelolaan pelatihan untuk staf operasional / proyek tentang masalah TI;
Kemudian dikonversikan menjadi KPI dalam tabel berikut:
No Key Performance Indicators Unit Pengukuran Target
1 Jumlah teknologi baru yang diterapkan tahun ini angka 2
2 Persentase uptime konektivitas internet dalam sebulan % 90
3 Jumlah perangkat lunak yang dikembangkan diterapkan tahun ini angka 1
4 Jumlah pengerjaan stock opname perangkat perangkat keras per tahun angka 2
5 Jumlah pelatihan staf proyek tentang masalah TI per tahun angka 3
Kemudian capaian target dikonversikan menjadi peringkat performa kerja karyawan sesuai peraturan kepegawaian pasal 28 ayat (7) sbb:
1: luar biasa;
2: melampaui harapan;
3: memenuhi harapan;
4: memenuhi sebagian harapan;
5: tidak memenuhi harapan;
4.3.Bahwa tidak ada dokumen yang menyebutkan bahwa “Kinerja Penggugat Tidak Memuaskan”. Adapun hasil evaluasi 360 derajat yang dilakukan tahun 2017 adalah “Need Improvement (Perlu Perbaikan)” itu pun pengkategoriannya tidak sesuai dengan yang tercantum pada Peraturan Kepegawaian Pasal 28 ayat (7) yang berbunyi:
“Kategori peringkat performa kerja Karyawan adalah:
1: luar biasa;
2: melampaui harapan;
3: memenuhi harapan;
4: memenuhi sebagian harapan;
5: tidak memenuhi harapan”;
4.4.Bahwa terkait dengan dalil jawaban angka 29 Penggugat berteguh pada dalil bahwa intinya tidak ada yang menyatakan “Kinerja Tidak Memuaskan”;
4.5.Bahwa hasil evaluasi tersebut tidak SMART, yaitu Specific (spesifik), Measurable (terukur), Achievable (bisa dicapai), Realistic (realistis), Time-bound (ada batasan waktu) dan tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak sesuai dengan Peraturan Kepegawaian yang mensyaratkan KPI sebagai ukuran. Pada tabel tersebut tidak ada KPI, dan hasilnya sangat subjectif karena hanya merupakan perspektif pewawancara. Pehitungan nya juga tidak jelas misalnya darimana dapat hasil < 50 % ?;
4.6.Bahwa tidak benar Penggugat sebagai IT Manager tidak melaksanakan tugasnya, karena Laporan Tahunan Kemitraan menyebutkan bahwa banyak capaian yang didapatkan di IT Perusahaan dan hasil audit ISO9001 menyatakan bahwa pengelolaan IT Perusahaan sudah sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Keberhasilan satu unit kerja sangat tergantung dengan Manager unit tersebut;
4.7.Bahwa demosi (penurunan jabatan) tidak diatur dalam Peraturan Kepegawaian. Dan tidak benar demosi sama dengan mutasi. Mutasi adalah alih tugas pekerja/buruh dari satu jabatan ke jabatan lain yang mempunyai tanggungjawab dan beban tugas relatif sama/setara dan tidak berdampak pada kelas jabatan, baik dalam satu lingkungan unit kerja/cabang, maupun antar unit kerja/cabang. Sedangkan demosi adalah alih tugas pekerja/buruh dari suatu posisi tugas ke posisi tugas lain yang mempunyai tanggungjawab dan beban tugas lebih rendah dan berdampak pada penurunan kelas jabatan baik dalam satu lingkungan unit kerja/cabang, maupun antar unit kerja/cabang;
4.8.Bahwa dalil Tergugat yang menyatakan pada awalnya Penggugat pernah menerima kebijakan Tergugat menurunkan jabatannya dari IT Manager menjadi IT Officer, adalah tidak benar. Penggugat justru melakukan penolakan, penolakan mana terbukti dari surat amandemen PKWTT No.: 008/PKWTT/PGR/OPS/Juli/2010 yang tidak pernah ditandatangani Penggugat. Bahkan dalam beberapa komunikasi melalui e-mail antara Penggugat dengan Sdri. C selaku Kepala Unit People & Office Management Tergugat, Penggugat juga selalu menyampaikan penolakan karena Penggugat merasa diperlakukan tidak adil dimana Penggugat sudah mempunyai masa kerja selama 11 (sebelas) tahun lebih. Beberapa komunikasi Penggugat terhadap Tergugat dalam e-mail yang dimaksud akan Penggugat ajukan sebagai alat bukti surat dalam sidang pembuktian berikutnya;
4.9.Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil Penggugat tersebut di atas, maka dalil jawaban Tergugat angka angka 17 s/d 38 tidak mempunyai alasan dan dasar hukum, karenanya haruslah ditolak;
Tentang Penurunan Upah/Gaji
5.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 39 s/d 41 yang pada pokoknya menyatakan penurunan upah/gaji Penggugat dari Rp 21.458.000,- (Dua puluh satu juta empat ratus lima puluh delapan ribu rupiah) menjadi Rp 13.000.000,- (Tiga belas juta rupuah) per-bulan (- Rp 8.458.000 = - 39,41%), sudah sesuai dengan hukum, adalah dalil yang tidak beralasan dan dasar hukum, bahkan lebih jauh dari itu tidak mempunyai nilai-nilai moral kemanusiaan yang berlaku universal, atas alasan sebagai berikut:
5.1.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 40.1 sudah secara tegas mengakui bahwa Peraturan Kepegawaian yang berlaku pada Tergugat tidak ada mengatur ketentuan tentang penurunan gaji/upah akibat demosi. Tapi menurut Tergugat ketentuan tentang kenaikan gai/upah dapat dipakai sebagai acuan. Dalil Tergugat sedemikian tidak dilandasi berpikir secara rasional. Jika misalnya seorang pegawai Tergugat selama 9 (sembilan) tahun terakhir menjabat sebagai Manager Unit Hubungan Internasional mempunyai gaji Rp 21.458.000,- per-bulan, lalu dipromosikan (terpilih) menjadi Direktur Eksekutif dan gajinya ditetapkan Rp 40.000.000,- per-bulan, artinya gajinya naik sebesar Rp 18.542.000,- per-bulan. Kebijakan demikian tentu baik karena mempunyai alasan rasional. Tapi sebaliknya, jika si Manager Unit Hubungan Internasional setelah dievaluasi ternyata kinerjanya sangat buruk selama 1 (satu) tahun terakhir, misalnya tidak mampu menambah jaringan internasional, tidak mampu melakukan “lobby funding”, yang disebabkan misalnya kesehatannya menurun selama setahun terakhir atau karena berbagai masalah internal perusahaan yang dapat mempengaruhi kinerjanya lebih baik, sedangkan kesehatannya atau masalah internal tidak dipulihkan oleh pimpinan, lalu pimpinan mendemosinya menjadi non-jabatan bidang Hubungan Jaringan Nasional. Nah, jika kebijakan ditetapkan berdasarkan kebalikan promosi, berapa gaji si pegawai yang baru didemosi itu, tentu hanya sebatas UMP DKI Jakarta sebesar Rp 3.940.973,- per-bulan. Apakah kebijakan demikian rasional ? Tentu tidak. Selain tidak rasional, juga tidak manusiawi. Apalagi Tergugat sudah mengakui bahwa Peraturan Kepegawaian yang berlaku pada Tergugat tidak mengatur soal-soal penurunan upah/gaji. Sehingga juga tidak ada landasan hukumnya;
5.2.Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil pada angka 5.1 tersebut, maka ketentuan Pasal 26 ayat (5) Peraturan Kepegawaian tidak tepat dijadikan sebagai acuan dalam pengesahan/penetapan penurunan upah Penggugat karena apa yang diatur dalam Pasal 26 ayat (5) hanya tentang kenaikan gaji berkala, bukan penurunan upah;
5.3.Bahwa ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang diangkat Tergugat sebagai asas hukum dalam meneguhkan dalil-dalilnya adalah juga tidak tepat, bahkan dengan memperlihatkan ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata semakin memperburuk dalil-dalil Tergugat, karena pada ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata secara tersurat dan tersirat terdapat nilai-nilai kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang yang baik. Kepatutan adalah rasa keadilan dalam masyarakat, sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, 2001, hal. 89. Dan menurut pendapat Mariam Darus Badrulzaman, “Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUHPerdata adalah kebiasaan pada umumnya (gewoonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUHPerdata ialah kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu (bestending gebruikelijk beding)”, hal. 91. Apakah kebijakan menurunkan upah sampai 39,41% mempunyai unsur kepatutan atau rasa keadilan dalam masyarakat ? Tidak. Jikapun hal demikian adalah suatu kelaziman pada Tergugat, tapi praktek sedemikian adalah bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dan keadilan masyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari unsur undang-undang juga, penurunan upah sebesar 39,41% dengan mendasarkannya pada, baik peraturan heteronom, in casu Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, maupun peraturan otonom, in casu Pasal 26 ayat (5), Pasal 37 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepegawaian, adalah tidak benar, karena bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dan kebiasaan, serta keadilan;
5.4.Bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 319 K/Pdt.Sus/2007, tanggal 3 Maret 2008, yang diangkat Tergugat sebagai pendukung dalilnya yang menyatakan penurunan upah/gaji Penggugat dari Rp 21.458.000,- (Dua puluh satu juta empat ratus lima puluh delapan ribu rupiah) menjadi Rp 13.000.000,- (Tiga belas juta rupuah) per-bulan (- Rp 8.458.000 = - 39,41%), sudah sesuai dengan hukum, adalah tidak tepat. Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak mempunyai peristiwa hukum yang sama dengan peristiwa hukum yang terjadi dalam sengketa/perkara a quo (perkara Nomor XXX/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Jkt.Pst). Dalam perkara Nomor 319 K/Pdt.Sus/2007, jo. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 124/PHI.G/2007/PN.JKT.PST, para pekerja/buruh (7 orang) pada tanggal 25 September 2006 telah menandatangi surat persetujuannya menerima demosi dan penyesuaian remunerasi yang ditetapkan pengusaha PT. Metropolitan Retailmart, tapi kemudian berubah sikap dikemudian hari. Kemudian juga tentang ketentuan pelaksanaan demosi telah diatur secara jelas dan tegas dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara Serikat Pekerja PT. Metropolitan Retailmart dengan pengusaha PT. Metroolitan Retailmart. Kemudian juga, pengusaha PT. Metropolitan Retailmart telah memberi waktu dan kesempatan kepada para pekerja/buruhnya untuk memperbaiki kinerjanya. Bahkan para pekerja/buruh telah mendapat surat peringatan dari pengusaha PT. Metropolitan Retailmart. Sedangkan dalam perkara a quo, Penggugat sejak awal telah menolak keputusan Tergugat yang melakukan perubahan status hubungan kerja dari PKWTT menjadi PKWT, demosi, dan penurunan upah. Juga dalam perkara a quo, Tergugat tidak pernah memberi waktu dan kesempatan kepada Penggugat untuk memperbaiki kinerjanya, dan yang paling penting juga bahwa Tergugat tidak bersedia duduk bersama dengan Penggugat membicarakan kenapa sampai ada penilaian terhadap Penggugat berkinerja kurang, apa penyebabnya, dan apa solusinya. Karena terjadi pertanyaan besar dan mendasar, mengapa sudah 9 (sembilan) tahun mengurusi IT (IT Manager) tiba-tiba kinerja pegawai menjadi berkurang, quod non. Bukankah karena ada perubahan sistem teknologi yang sangat dahasiat pada organisasi Tergugat ? Atau, bukankah karena sedang terjadi persoalan apapun itu yang sedang dihadapi Tergugat ? Atau barangkali juga Penggugat menghadapi sesuatu masalah yang belum diketahui Tergugat, karena pimpinan Tergugat tidak tertarik akan hal itu ? Kemudian juga, Penggugat tidak pernah mendapat surat peringatan (SP) dari Tergugat;
5.5.Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil Penggugat tersebut di atas, maka dalil jawaban Tergugat angka angka 39 s/d 41 tidak mempunyai alasan dan dasar hukum, karenanya haruslah ditolak;
Tentang Tugas dan Tanggungjawab Tambahan Penggugat sebagai Kepala ISO Internal Auditor
6.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 42 s/d 43 (halaman 41-46) yang pada pokoknya menyatakan tuntutan Penggugat kepada Tergugat untuk membayar tunjangan tanggungjawab tambahan sebagai Kepala ISO Internal Auditor sebesar Rp 131.303.500,- (Seratus tiga puluh satu juta tiga ratus tiga ribu lima ratus rupiah) dimana Penggugat sebagai Kepala ISO Internal Auditor hanya bertugas mengumpulkan hasil internal audit, adalah dalil yang menyesatkan yang jauh dari teori para ahli manajemen, literatur, dan praktek penerapan tentang tugas dan tanggungjawab seorang pejabat apapun, atas alasan sebagai berikut:
6.1.Bahwa ISO 9001 merupakan standar internasional di bidang sistem manajemen mutu. Suatu lembaga/organisasi yang telah mendapatkan akreditasi (pengakuan dari pihak lain yang independen) ISO tersebut, dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan internasional dalam hal sistem manajemen mutu produk/jasa yang dihasilkannya;
Para pihak yang terkait dengan manajemen mutu ISO 9001 adalah:
1)Management Representative (MR): terdiri dari MR dan Deputy MR yang mempunya tugas dan tanggungjawab sbb:
a.Memastikan proses yang diperlukan dalam sistem manajemen mutu ISO 9001:2015 ditetapkan, diimplementasikan dan dipelihara;
b.Melaporkan secara berkala kepada Direktur Eksekutif tentang kinerja sistem manajemen mutu dan kebutuhan-kebutuhan apa pun demi perbaikan sistem yang berjalan di Perusahaan;
c.Memastikan promosi kesadaran tentang prosedur-prosedur kerja yang berlaku di dalam Perusahaan;
d.Menjadi penghubung perusahaan dengan pihak luar terkait sistem manajemen mutu ISO 9001:2015;
2)Internal Auditor: terdiri dari Kepala Internal Auitor dan Anggota Internal Auditor yang mempunyai tugas dan tanggungjawab sbb:
a.Membantu MR dan Deputy MR dalam memelihara sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 yang telah ditetapkan;
b.Menjadi penilai dan pemberi rekomendasi dalam evaluasi kinerja sistem manajemen mutu setiap tahunnya dalam kegiatan audit internal sistem manajemen mutu di Perusahaan;
c.Memastikan adanya penelusuran akar penyebab kelemahan sistem manajemen mutu yang ditemukan di dalam audit internal dan juga dalam keseharian operasional di Perusahaan;
d.Memastikan adanya tindakan perbaikan terhadap kelemahan sistem dan tindakan pencegahan terhadap potensi kelemahan sistem manajemen mutu di Perusahaan;
e.Memberikan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap audit internal sistem manajemen mutu yang telah dilakukan kepada MR dan Deputy MR;
3)Eksternal Auditor: pihak ketiga yang merupakan badan sertifikasi ISO 9001;
4)Auditee: Staff Perusahaan yang diaudit oleh Internal Auditor dan eksternal Auditor yang merupakan perwakilan dari unit kerja Perusahaan;
6.2.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 42.3 yang pokoknya menyatakan bahwa sebagai Kepala ISO Internal Auditor tidak benar Penggugat mempunyai tugas dan tanggungjawab sebagaimana yang didalilkan Penggugat dalam dalil gugatan angka 27.3 berikut:
IT Manager bertugas dan bertanggungjawab, antara lain, untuk:
a.Memastikan implementasi strategi TI dan berfungsinya secara efektif paket perangkat keras dan perangkat lunak organisasi;
b.Memastikan administrasi jaringan yang efisien;
c.Menyediakan layanan manajemen web;
d.Memberikan dukungan administratif;
e.Memastihak fasilitas pembentukan pengetahuan (knowledge building) dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing);
f.Memastikan fokus capaian hasil-hasil a, b, c, d, dan e;
Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Tergugat Nomor: 038A/Ops-HR/September/2012, tanggal 1 September 2012, tentang Penetapan Internal Auditor ISO 9001:2008, Kepala ISO Internal Auditor bertugas dan bertanggungjawab untuk:
a.Membantu MR dan Deputy MR dalam memelihara sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 yang telah ditetapkan;
b.Menjadi penilai dan pemberi rekomendasi dalam evaluasi kinerja sistem manajemen mutu setiap tahunnya dalam kegiatan audit internal sistem manajemen mutu di Perusahaan;
c.Memastikan adanya penelusuran akar penyebab kelemahan sistem manajemen mutu yang ditemukan di dalam audit internal dan juga dalam keseharian operasional di Perusahaan;
d.Memastikan adanya tindakan perbaikan terhadap kelemahan sistem dan tindakan pencegahan terhadap potensi kelemahan sistem manajemen mutu di Perusahaan;
e.Memberikan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap audit internal sistem manajemen mutu yang telah dilakukan kepada MR dan Deputy MR;
adalah alasan yang tidak benar menurut hukum maupun menurut ilmu manajemen pada umumnya. Memang tidak disebutkan secara eksplisit perbedaan tugas dan tanggung jawab Kepala Internal Auditor dengan Anggota Internal Auditor. Tapi dari penamaan posisinya saja sudah bisa dipastikan bahwa seorang Kepala mempunyai peran manajerial dan mempunya tugas dan tanggung jawab lebih besar dibandingkan bawahan atau anggota sebuah tim apapun itu;
6.3.Bahwa dalil jawaban Tergugar angka 42.2 yang mendalilkan pada pokoknya bahwa tugas Kepala Internal Audior hanya mengedarkan jadwal dan mengumpulkan hasil internal audit, adalah tidak benar, tidak sesuai fakta lapangan. Kepala Internal Auditor mempunyai tugas dan tanggung jawab lebih besar daripada Internal Auditor. Kepala ISO Internal Auditor mengerjakan hal-hal sebagai berikut:
1.Membantu Management Reprentative dalam menyiapkan dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam ISO 9001;
2.Merekrut anggota Internal Auditor;
3.Memfasilitasi training Internal Auditor;
4.Menyiapkan perencanaan audit;
5.Mengkomunikasikan rencana internal audit dengan berbagai pihak terkait;
6.Memberikan arahan dan mendelegasikan sebagian tugas audit kepada para anggota Internal Auditor. Kepala Internal auditor juga melakukan audit seperti halnya Internal Auditor lainnya;
7.Melakukan coaching terhadap anggota internal auditor;
8.Memeriksa hasil audit yang dilakukan oleh anggota internal auditor dan memberikan koreksi jika dibutuhkan;
9.Membuat laporan audit;
10.Diseminasi laporan audit ke berbagai pihak terkait;
11.Memonitor dan menindaklanjuti hasil internal audit;
12.Mengkomunikasikan rencana external audit dengan berbagai pihak terkait;
13.Memfasilitasi external auditor pada saat audit;
14.Menindaklajuti hasil temuan external audit;
15.Sebagai nara sumber internal terkait ISO 9001;
16.Mengelola dokumen ISO 9001;
6.3.Bahwa dari uraian uraian tugas dan tanggungjawab Penggugat sebagai Kepala ISO Internal Auditor sebagaimana diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa tugas dan tanggungjawab Penggugat bukan hanya seperti yang didalilkan Tergugat: hanya mengedarkan jadwal dan mengumpulkan hasil internal audit. Sedangkan yang dilakukan oleh angggota Internal auditor hanyalah melakukan audit terhadap unit kerja yang ditentukan oleh Kepala Internal Auditor;
6.4.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 42.5.b.i adalah tidak benar, karena Kepala ISO Internal Auditor juga melakukan audit terhadap unit kerja Tergugat, hal ini tercantum pada internal audit rundown yang akan diajukan Penggugat dalam persidangan pembuktian;
6.5.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 42.7 adalah tidak benar, karena konsultan pihak ketiga yang ditunjuk oleh Kemitraan bukan untuk membantu Kepala ISO Internal Auditor tetapi untuk membantu Management Representative (MR) dalam menetapkan system management mutu ISO9001, dan hanya pada tahap awal penetapan ISO9001:2008 pada tahun 2012, dan penetapan ISO9001:2015 pada tahun 2018. Tugas Management Representative (MR) adalah menetapkan system, sedangkan tugas Kepala ISO Internal Auditor adalah memelihara sistim yang sudah ditetapkan MR. Tugas dan tanggung jawab tercantum dalan SK Internal Auditor dan SK Management Representative (akan diajukan dalam sidang pembuktian);
6.6.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 42.8 adalah tidak benar, karena Kepala Internal Auditor masih membantu Konsultan yang ditunjuk dengan menyiapkan dokumen yang diperlukan oleh konsultan tersebut. Bahkan Kepala ISO Internal Auditor pun mengerjakan tugas lain yang sebetulnya merupakan tanggungjawab Management Representative (MR), yaitu menjadi penghubung dengan pihak luar, yaitu badan sertifikasi ISO9001 SAI Global;
6.7.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 42.9.b adalah tidak benar, karena tugas dan tanggungjawab Penggugat sebagai IT Manager (Manajer Teknologi dan Informasi) berbeda dengan tugas dan tanggung jawab sebagai Kepala ISO Internal Auditor dan posisi Kepala ISO Internal Auditor hanya satu-satunya di perusahaan Tergugat. Posisi Penggugat sebagai Kepala ISO Internal Auditor bukan “menggantikan karyawan lain” tapi masuk kategori “mengerjakan poyek lain” Sehingga berhak mendapatkan tunjangan tanggung jawab tambahan;
6.8.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 42.9.c adalah tidak benar, karena posisi Kepala ISO Internal Auditor berlaku tidak hanya 2 bulan, tapi berlaku sepanjang tahun. Bahkan Penggugat sebagai Kepala ISO Internal Auditor tidak pernah diganti sejak tahun 2012. Tugas dan tanggungjawab Penggugat sebagai Kepala ISO Internal Auditor sudah dilaksanakan secara baik, penuh tanggungjawab, dan hasilnya adalah baik yang tertuang dalam laporan eksternal audit yang dikeluarkan oleh SAI Global;
6.9.Bahwa berdasarkan dalil-dalil Penggugat sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka dalil-dalil jawaban Tergugat angka 42 s/d 43 pada halaman 41 s/d 46 tidaklah beralasan menurut hukum dan haruslah ditolak;
Tentang ketentuan Pasal 169 ayat (1) hurud d dan/atau e UU Ketenagakerjaan dikaitkan dengan pengunduran diri
7.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 44 s/d 63, halaman 46-53 yang pada pokoknya menyatakan bahwa oleh karena Penggugat menyatakan Tergugat telah terbukti melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan/atau e UUKetenagakerjaan, padahal tidak benar, sehingga tututan Penggugat agar terhadap Penggugat dilakukan pemutusan hubungan kerja mengakibatkan Penggugat dapat dikualifikasikan telah mengundurkan diri, adalah dalil tanpa alasan hukum dan dasar hukum yang benar, atas alasan sebagai berikut:
7.1.Peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan di Indonesia hanya mengenal 3 (tiga) macam alasan seseorang pekerja/buruh disebut, atau dikualifikasikan, atau dianggap mengundurkan diri, yaitu:
7.1.1.Pekerja/buruh disebut mengundurkan diri atas alasan kemauan sendiri dari pekerja/buruh tersebut, dengan sejumlah syarat, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 162 UU Ketenagkerjaan;
7.1.2.Pekerja/buruh diklasifikasikan mengundurkan diri karena alasan pekerja/buruh tersebut mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut, dengan sejumlah syarat, sebagaimana diatur dalam Pasal 168 UU Ketenagakerjaan; dan
7.1.3.Pekerja/buruh dianggap mengundurkan diri karena pekerja/buruh melakukan mogok kerja secara tidak sah, dengan sejumlah syarat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah;
7.1.4.Bahwa dari 3 (tiga) macam alasan seseorang pekerja/buruh disebut, atau dikualifikasikan, atau dianggap mengundurkan diri ternyata tidak satupun diantaranya yang dapat dan tepat dijadikan sebagai dasar hukum Penggugat dikualifikasikan mengundurkan diri atas alasan Penggugat menyatakan Tergugat telah terbukti melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan/atau e UU Ketenagakerjaan. Penggugat tidak pernah mengajukan surat pengunduran diri. Penggugat tidak pernah mangkir kerja selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. Dan Penggugat tidak pernah melakukan mogok kerja tidak sah;
7.2.Bahwa yang dimaksud Penggugat dengan dalil Tergugat melakukan pelanggaran atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan/atau e UU Ketenagakerjaan, adalah sebagaimana uraian penjelasan sebagai berikut:
7.2.1.Bahwa ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c dan e UU Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 54
(1)Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
c.jabatan atau jenis pekerjaan;
d.... dst;
e.besarnya upah dan cara pembayarannya”;
7.2.2.Bahwa kemudian ketentuan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 55
“Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak”;
7.2.3.Bahwa oleh karena jabatan dan besarnya upah adalah unsur atau bagian dari perjanjian kerja (PK) sebagaimana dimaksud ketetuan Pasal 54 ayat (1) huruf c dan e, sedangkan ketentuan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan telah menentukan/mengatur bahwa perjanjian kerja (termasuk di dalamnya jabatan, dan besarnya upah) tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak, maka dengan diubahnya PKWTT Penggugat menjadi PKWT, diubahnya jabatan Penggugat dari IT Manager menjadi IT Officer, dan diubahnya atau berkurangnya besaran upah Penggugat dari Rp 21.458.000,- menjadi Rp 13.000.000,- perbulan atas dasar keputusan sepihak dari Tergugat tanpa persetujuan Penggugat sebagaimana diwajibkan ketentuan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan, maka kebijakan/keputusan Tergugat merubah jabatan dan besar upah Penggugat menjadi cacat hukum, tidak sah dan batal demi hukum;
7.2.4.Bahwa oleh karena Tergugat mengubah jabatan Penggugat dari jabatan IT Manager menjadi IT Officer, dan upah Penggugat berubah (berkurang) dari Rp 21.458.000,- menjadi Rp 13.000.000,- perbulan hanya atas dasar keputusan sepihak dari Tergugat tanpa adanya persetujuan Penggugat, maka berdasarkan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan e adalah sebagai berikut:
“Pasal 169
(1)Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
d.Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e.Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan”;
maka perbuatan Tergugat melakukan demosi (IT Manager menjadi IT Officer) kepada Penggugat dan penurunan upah Penggugat dari Rp 21.458.000,- menjadi Rp 13.000.000,- secara sepihak tanpa persetujuan Tergugat, itulah yang dimaksud bertentangan dengan ketentuan “tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh”, dan/atau “memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan”, sebagaimana ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan e UU Ketenagakerjaan. Artinya, Tergugat tidak melakukan kewajibannya untuk tetap mempekerjakan Penggugat sebagai IT Manager dan upah sebesar Rp 21.458.000,- perbulan, tapi mempekerjakan Penggugat sebagai IT Officer dan upah menurun menjadi Rp 13.000.000,- perbulan sebagaimana dimaksud huruf c, dan/atau Tergugat memerintahkan Penggugat melaksanakan pekerjaannya sebagai IT Officer dan upah hanya sebesar Rp 13.000.000,- perbulan padahal jabatan dan besar upah sebesar Rp 13.000.000 adalah diluar yang diperjanjikan antara Tergugat dengan Penggugat melalui Surat Keputusan Tergugat No.: 005/SK/ED/Juli/2012, tertanggal 1 Juli 2012 yang menetapkan Penggugat sebagai Manager Unit Informasi dan Teknologi (“IT Manager”) jo. Surat Tergugat No. 022/Ops-HR/June/2018, tertanggal 28 Juni 2018 tentang penetapan kenaikan gaji/upah Penggugat menjadi sebesar Rp 21.458.000,- (Dua puluh satu juta empat ratus lima puluh delapan ribu rupiah) perbulan terhitung sejak Januari 2018;
7.2.5.Bahwa berdasarkan dalil-dalil Penggugat sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka dalil-dalil jawaban Tergugat angka 44 s/d 63 pada halaman 46-53 tidaklah beralasan menurut hukum dan haruslah ditolak untuk seluruhnya;
Tentang Surat Skorsing Melanggar Hak Asasi Manusia
8.Bahwa dalil jawaban Tergugat angka 64 s/d 65, halaman 54-57 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Penggugat salah menafsirkan frasa “yang dapat merugikan Perusahaan”, dalam kalimat Surat Keputusan Tergugat Nomor: 007/SK/Mei/2019, tanggal 14 Mei 2019, tentang skorsing kepada Penggugat, yang berbunyi sebagai berikut: “Pekerja dilarang membicarakan perselisihan tersebut kepada pihak lain manapun yang dapat merugikan Perusahaan” (vide angka 2.iv), adalah tidak benar. Justru Tergugatlah yang melakukan penafsiran hukum tanpa menggunakan metodelogi penafsiran yang logis dan masuk akal, atas alasan sebagai berikut:
8.1.Bahwa adalah hak asasi Penggugat membicarakan atau mengabarkan perselisihan hubungan industrial yang dialami Penggugat kepada siapapun, termasuk kepada pihak karyawan/staf Tergugat lainnya atau kepada teman-teman Penggugat, atau kepada keluarganya dengan menunjukkan surat-menyurat antara Tergugat dengan Penggugat seperti perjanjian kerja, bukti transfer gaji, e-mail. Semua dokumen tersebut bukan bersifat rahasia. Jika Tergugat mendalilkan dokumen seperti itu bersifat rahasia, peraturan mana yang mengatur, mohon akta;
8.2.Bahwa kata “merugikan” dalam kalimat: “Pekerja dilarang membicarakan perselisihan tersebut kepada pihak lain manapun yang dapat merugikan Perusahaan” (vide angka 2.iv), yang ditafsirkan Tergugat sebagai “dapat mendatangkan sesuatu yang kurang baik kepada Tergugat” akibat Penggugat menunjukkan dokumen sebagaimana disebut dalam angka 8.1 padahal belum tentu kebenarannya, adalah tafsir yang mengada-ada. Dokumen yang ditunjukkan Penggugat adalah dokumen fakta, bukan dokumen yang bersifat rahasia sebagai fakta terjadinya perselisihan. Bagaimana orang lain percaya terhadap keluhan Penggugat yang hak asasinya dirampas dan dikekang jika Penggugat tidak menunjukkan dokumennya. Jika suatu dokumen bersifat rahasia, tentu dalam dokumen itu mempunyai kode rahasia yang ditentukan pemilik. Tergugat dalam hal ini terlalu menunjukkan kekuasaannya yang tidak sepatutnya diperlihat Tergugat terhadap Penggugat sebagai pekerja/buruh;
8.3.Bahwa untuk lebih meneguhkan dalil-dalil Penggugat dalam replik a quo Penggugat berpegang teguh pada dalil-dalil gugatan Penggugat angka 28.1 s/d 28.7;
8.4.Bahwa berdasarkan dalil-dalil Penggugat sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka dalil-dalil jawaban Tergugat angka 64 s/d 65, halaman 54-57 tidaklah beralasan menurut hukum dan haruslah ditolak untuk seluruhnya;
9.Bahwa terkait dengan tuntutan Penggugat agar Tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) keterlambatan pembayaran sejumlah hak-hak Penggugat sebesar bunga bank yang ditetapkan Bank Indonesia, apabila Tergugat lalai menjalankan putusan perkara a quo sepanjang mengenai penghukuman untuk melakukan pembayaran sejumlah uang, Penggugat tetap pada petitum angka 15 gugatan Penggugat;
10.Bahwa berdasarkan dalil-dalil Penggugat tersebut di atas maka Penggugat dapat meneguhkan dalil-dalil gugatan Penggugat untuk seluruhnya, dan sekaligus mematahkan dalil-dalil Tergugat yang sama sekali tidak beralasan hukum dan dasar hukum, karenanya seluruh dalil-dalil jawaban Tergugat haruslah ditolak atau setidak-tidaknya dikesampingkan;
DALAN REKONVENSI
1.Bahwa Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi mohon seluruh dalil-dalil yang telah diuraikan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi pada bagian Konvensi kembali terulang dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam bagian Rekonvensi ini;
2.Bahwa Tergugat Rekonvensi menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil gugatan rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi, kecuali apa-apa yang diakui secara tegas oleh Tergugat Rekonvensi;
3.Bahwa dalil gugatan rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi angka 67 s/d 75, halaman 56-59, yang pada pokoknya menyatakan bahwa oleh karena Tergugat Rekonvensi telah terbukti mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja dirinya dari Penggugat Rekonvensi, baik pada tahap mediasi maupun dalam gugatan konvensi, padahal Penggugat Rekonvensi tidak pernah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Tergugat Rekonvensi, sehingga Tergugat Rekonvensi dapat diklasifikasikan telah mengundurkan diri dari Penggugat Rekonvensi terhitung sejak tanggal 21 Mei 2019, dan Tergugat Rekonvensi hanya berhak atas uang pisah dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 92 Peraturan Kepegawaian, adalah dalil tanpa alasan dan dasar hukum yang benar, atas alasan sebagai berikut (Penggugat uraikan lagi dalil Penggugat Konvensi angka 7 bagian konvensi):
3.1.Peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan di Indonesia hanya mengenal 3 (tiga) macam alasan seseorang pekerja/buruh disebut, atau dikualifikasikan, atau dianggap mengundurkan diri, yaitu:
3.1.1.Pekerja/buruh disebut mengundurkan diri atas alasan kemauan sendiri dari pekerja/buruh tersebut, dengan sejumlah syarat, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 162 UU Ketenagkerjaan;
3.1.2.Pekerja/buruh diklasifikasikan mengundurkan diri karena alasan pekerja/buruh tersebut mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut, dengan sejumlah syarat, sebagaimana diatur dalam Pasal 168 UU Ketenagakerjaan; dan
3.1.3.Pekerja/buruh dianggap mengundurkan diri karena pekerja/buruh melakukan mogok kerja secara tidak sah, dengan sejumlah syarat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah;
3.1.4.Bahwa dari 3 (tiga) macam alasan seseorang pekerja/buruh disebut, atau dikualifikasikan, atau dianggap mengundurkan diri ternyata tidak satupun diantaranya yang dapat dan tepat dijadikan sebagai dasar hukum Penggugat dikualifikasikan mengundurkan diri atas alasan Penggugat menyatakan Tergugat telah terbukti melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan/atau e UU Ketenagakerjaan. Penggugat tidak pernah mengajukan surat pengunduran diri. Penggugat tidak pernah mangkir kerja selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. Dan Penggugat tidak pernah melakukan mogok kerja tidak sah;
3.2.Bahwa yang dimaksud Penggugat dengan dalil Tergugat melakukan pelanggaran atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan/atau e UU Ketenagakerjaan, adalah sebagaimana uraian penjelasan sebagai berikut:
3.2.1.Bahwa ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c dan e UU Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 54
(1)Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
c.jabatan atau jenis pekerjaan;
d.... dst;
e.besarnya upah dan cara pembayarannya”;
3.2.2.Bahwa kemudian ketentuan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 55
“Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak”;
3.2.3.Bahwa oleh karena jabatan dan besarnya upah adalah unsur atau bagian dari perjanjian kerja (PK) sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c dan e, sedangkan ketentuan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan telah menentukan/mengatur bahwa perjanjian kerja (termasuk didalamnya jabatan, dan besarnya upah) tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak, maka dengan diubahnya PKWTT Penggugat menjadi PKWT, diubahnya jabatan Penggugat dari IT Manager menjadi IT Officer, dan diubahnya atau berkurangnya besaran upah Penggugat dari Rp 21.458.000,- menjadi Rp 13.000.000,- perbulan atas dasar keputusan sepihak dari Tergugat tanpa persetujuan Penggugat sebagaimana diwajibkan ketentuan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan, maka kebijakan/keputusan Tergugat merubah jabatan dan besar upah Penggugat menjadi cacat hukum, tidak sah dan batal demi hukum;
3.2.4.Bahwa oleh karena Tergugat mengubah jabatan Penggugat dari jabatan IT Manager menjadi IT Officer, dan upah Penggugat dirubah (berkurang) dari Rp 21.458.000,- menjadi Rp 13.000.000,- perbulan hanya atas dasar keputusan sepihak dari Tergugat tanpa adanya persetujuan Penggugat, maka berdasarkan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan e yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 169
(1)Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
d.Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e.Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan”;
maka perbuatan Tergugat melakukan demosi (IT Manager menjadi IT Officer) kepada Penggugat dan penurunan upah Penggugat dari Rp 21.458.000,- menjadi Rp 13.000.000,- secara sepihak tanpa persetujuan Tergugat, itulah yang dimaksud bertentangan dengan ketentuan “tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh”, dan/atau “memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan”, sebagaimana ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d dan e UU Ketenagakerjaan. Artinya, Tergugat tidak melakukan kewajibannya untuk tetap mempekerjakan Penggugat sebagai IT Manager dan tidak membayar upah sebesar Rp 21.458.000,- perbulan, tapi mempekerjakan Penggugat sebagai IT Officer dan menurunkan upah menjadi Rp 13.000.000,- perbulan sebagaimana dimaksud huruf c, dan/atau Tergugat memerintahkan Penggugat melaksanakan pekerjaannya sebagai IT Officer dan upah hanya sebesar Rp 13.000.000,- perbulan padahal jabatan dan besar upah sebesar Rp 13.000.000 adalah diluar yang diperjanjikan antara Tergugat dengan Penggugat melalui Surat Keputusan Tergugat No.: 005/SK/ED/Juli/2012, tertanggal 1 Juli 2012 yang menetapkan Penggugat sebagai Manager Unit Informasi dan Teknologi (“IT Manager”) jo. Surat Tergugat No. 022/Ops-HR/June/2018, tertanggal 28 Juni 2018 tentang penetapan kenaikan gaji/upah Penggugat menjadi sebesar Rp 21.458.000,- (Dua puluh satu juta empat ratus lima puluh delapan ribu rupiah) perbulan terhitung sejak Januari 2018;
3.2.4.Bahwa berdasarkan dalil-dalil Penggugat sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka gugatan rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi angka 67 s/d 75, halaman 56-59, tidaklah beralasan menurut hukum dan karenanya haruslah ditolak untuk seluruhnya;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI
Bahwa oleh karena gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dikabulkan untuk seluruhnya, sedangkan gugatan rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi ditolak untuk seluruhnya, artinya Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi adalah pihak yang menang dalam perkara a quo dan pihak Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi adalah pihak yang kalah dalam perkara a quo, maka beralasan menurut hukum biaya perkara a quo dibebankan kepada Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi;
Berdasarkan dalil-dalil Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi yang telah diuraikan di atas, mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM KONVENSI
1.Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.Menyatakan CONTRACT OF EMPLOYMENT No.: PGR/IT/068/May/08 sebagai surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu antara Tergugat dengan Penggugat, yang berlaku sejak tanggal 5 Mei 2008 s/d 4 Mei 2009 adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, karenanya perjanjian tersebut tidak sah dan batal demi hukum;
3.Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dengan Penggugat sejak tanggal 4 Mei 2009 s/d 30 Desember 2009 berdasarkan ketentuan Pasal 57 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menjadi Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu;
4.Menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No.: 014/PGR/OPR/Jan/2010 antara Tergugat dengan Penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum;
5.Menyatakan anggapan atau kesimpulan Tergugat yang menyatakan kinerja Penggugat kurang memuaskan adalah tidak sah dan batal demi hukum;
6.Menyatakan perubahan status hubungan kerja Penggugat dari Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (tetap) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (kontrak) sejak tanggal 6 Februari 2019 sebagaimana dimaksud dalam surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No.: 008/PKWTT/PGR/OPS/Juli/2010 adalah tidak sah dan batal demi hukum;
7.Menyatakan penurunan jabatan (demosi) Penggugat dari IT Manager menjadi IT Officer, sebagaimana dimaksud dalam surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No.: 008/PKWTT/PGR/OPS/Juli/2010 adalah tidak sah dan batal demi hukum;
8.Menyatakan penurunan upah/gaji Penggugat dari Rp 21.458.000,- (dua puluh satu juta empat ratus lima puluh delapan ribu rupiah) perbulan menjadi Rp 13.000.000,- (tiga belas juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No.: 008/PKWTT/PGR/OPS/Juli/2010 adalah tidak sah dan batal demi hukum;
9.Menghukum Tergugat untuk membayar kekurangan pembayaran upah Penggugat sejak Maret 2019 sampai dengan Agustus 2019 sebesar Rp 50.748.000,- (lima puluh juta tujuh ratus empat puluh delapan ribu rupiah);
10.Menghukum Tergugat untuk untuk membayar kekurangan THR Penggugat tahun 2019 sebesar Rp 8.458.000,- (Delapan juta empat ratus lima puluh delapan rupiah);
11.Menghukum Tergugat untuk membayar denda dan bunga atas keterlambatan membayar upah dan Tunjangan Hari Raya (2019) Penggugat sebesar sebagai berikut:
a.Denda Upah dan THR 2019 sebesar Rp 25.374.000,- (Dua puluh lima juta tiga ratus tujuh puluh empat ribu rupiah);
b.Bunga Upah dan THR 2019 sebesar Rp 1.353.280,- (Satu juta tiga ratus lima puluh tiga ribu dua ratus delapan puluh rupiah);
12.Menghukum Tergugat untuk membayar tunjangan tanggungjawab tambahan Penggugat sebagai Kepala ISO Internal Auditor dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2018 sebesar Rp 131.303.500,- (Seratus tiga puluh satu juta tiga ratus tiga ribu lima ratus rupiah);
13.Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan perkara a quo diucapkan;
14.Menghukum Tergugat untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak Penggugat sebesar Rp 542.887.400,- (Lima ratus empat puluh dua juta delapan ratus delapan puluh tujuh ribu empat ratus rupiah);
15.Menghukum Tergugat untuk membayar bunga (moratoir) keterlambatan pembayaran sejumlah hak-hak Penggugat sebesar bunga bank yang ditetapkan Bank Indonesia, apabila Tergugat lalai menjalankan putusan perkara a quo sepanjang mengenai penghukuman untuk melakukan pembayaran sejumlah uang;
DALAM REKONVENSI
-Menolak gugatan rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI
-Menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara a quo;
Atau,
Bilamana Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya dalam peradilan yang baik dan benar (ex aequo et bono);
Hormat kami,
Kuasa Penggugat,
HARRIS MANALU, S.H.