Showing posts with label ARTIKEL. Show all posts
Showing posts with label ARTIKEL. Show all posts

Untuk Omnibus Law, DPR Sahkan Perubahan Kedua UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

 at May 26, 2022    

Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa, 24 Mei 2022, mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P-3). Rapat ini dipimpin langsung Ketua DPR Puan Maharani.

Salah satu materi muatan yang diubah adalah penambahan ketentuan atau norma tentang pembuatan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus law, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciker) yang menampung perubahan 78 Undang-undang.

Baca juga: Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 103/PUU-XVIII/2020

Selain metode omnibus law, menurut Anggota Baleg DPR Heri Gunawan yang juga Wakil Ketua F-Gerindra DPR, beberapa substansi penting dalam RUU P-3, adalah penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat (Pasal 96), perbaikan kesalahan teknis penulisan oleh DPR (Pasal 72), dan perbaikan kesalahan teknis penulisan oleh Pemerintah (Pasal 73), serta pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik (Pasal 97B).

Dengan disahkannya RUU P-3 ini maka sesuai perintah Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pembentuk undang-undang, dalam hal ini Presiden/Pemerintah dan DPR akan segera memperbaiki UU Ciker dengan metode omnibus law, tinggal menunggu pengesahan dari Presiden dan pengundangan dari Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg). Demikian dirangkum Blog Sahabat PHI dari situs resmi DPR RI: https://www.dpr.go.id/berita/ -(hm)


Pelaksanaan Uang Pisah Harus Diatur dalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan atau PKB

 at May 01, 2022    

PHK Karena Alasan Mendesak, Dapat Apa?

 at February 26, 2022    


Ada pertanyaan di Channel SAHABAT PHI sebagai  berikut: 

Salam Sahabat PHI. Salam sehat. Saya ingin menanyakan mengenai penghitungan PHK yang mana: 

  1. Dasar/alasan PHK karena alasan mendesak;
  2. Baru bekerja 1 tahun 2 minggu.

Bagaimana penghitungannya. Terima kasih atas perhatiannya.

Saya jawab, PHK karena alasan mendesak tidak ada uang pesangon (UP) dan uang penghargaan masa kerja (UPMK). Yang ada hanya uang penggantian hak (UPH) dan uang pisah (UPis). 

Uang pisah pun baru dapat kalau sudah diatur dalam perjanjian kerja (PK) dan/atau Peraturan Perusahaan (PP) dan/atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). PHK karena alasan mendesak itu dapat kita lihat dalam Pasal 52 ayat (2) PP 35/2021 berikut Penjelasannya.

Begini bunyi Pasal 52 ayat (2):

Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama  maka Pekerja/Buruh berhak atas:

a.uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan

b.uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama."

Dan Penjelasannya berbunyi sebagai berikut:

“Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal:

a.melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan;

b.memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan;

c.mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d.melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e.menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan kerja;

f.membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g.dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan;

h.dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i.membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j.melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."

Kalau kita lihat bunyi Penjelasan Pasal 52 ayat (2) itu, perbuatan-perbuatan yang dapat di PHK karena alasan mendesak sama dengan isi atau bunyi ex Pasal 158 ayat (1) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu kesalahan berat. Namun perlu dicatat dan diingat PHK karena alasan mendesak baru berlaku jika diatur dalam PP atau PKB.

Kalau tidak diatur maka tidak ada PHK karena alasan mendesak. Kalaupun misalnya terbukti pekerja/buruh memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan perusahaan atau melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang milik perusahaan, PHK tetap dapat dilakukan namun dasar hukumnya bukan Pasal 52 ayat (2) tetapi ayat (1) PP 35/2021, yaitu terbukti melanggar PK atau PP atau PKB.

Karena dasar hukum PHK-nya adalah Pasal 52 ayat (2) maka pekerja/buruh berhak mendapat UP, UPMK dan UPH. UP sebesar 0,5 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2). UPMK sebesar 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (3) dan UPH sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Kita baca ketentuan Pasal 52 ayat (1) PP 35/2021 itu sebagai berikut:

Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut maka Pekerja/ Buruh berhak atas:

a.uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b.uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c.uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4)."

Selesai. Semoga bermanfaat.

____

Oleh Harris Manalu, S.H.

Advokat Spesialis Hubungan Industrial (Ketenagakerjaan)

Hakim Ad-Hoc PHI 2006-2016

HP/WA: 0812-8386-580

Email: harrismanalu3@gmail.com

Channel: SAHABAT PHI

***

Apa Solusi Jika Pengusaha Tidak Bersedia Membanyar Pesangon Yang Sudah Diputus Pengadilan Atau Sudah Ada Perjanjian Bersama

 at February 22, 2022    


"Klik video artikel ini"

Ada pertanyaan seperti ini, “Apa solusi jika pengusaha tidak mau menjalankan putusan pengadilan. Putusannya verstek. Perusahaan ini memang luar biasa bandel. Mulai bipartit sampai tripartit tidak mau hadir, sidang juga, dan sekarang sudah putusan, juga tidak mau bayar hak pekerja.”

Putusan verstek adalah putusan pengadilan atas perkara yang sejak awal pemeriksaan sampai dengan pengucapan putusan tidak dihadiri tergugat padahal sudah dipanggil secara sah dan patut.

Fakta seperti ini banyak terjadi, banyak dihadapi pekerja/buruh dimasa UU 13/2003. Pekerja/buruh atau kuasanya, baik pengurus SP/SB maupun Advokat, harus dengan lelah menjalani upaya eksekusi yang tidak mudah, tidak murah dan tidak cepat.

Pengadilan harus campur tangan memaksa pengusaha membayar pesangon yang sudah diputus PHI dan telah berkekuatan hukum tetap (BHT) atau inckracht van gewisde. Karena  UU 13/2003 tidak mengatur, tidak memberi sanksi pidana kepada pengusaha yang tidak membayar pesangon.

Sekarang, dimasa UU Ciker yang inkonstitusional bersyarat itu diberi sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar pesangon, asalkan telah memenuhi syarat. Syaratnya seperti ini:

Syarat Pertama

Sejumlah pesangon atau uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja itu telah diputus PHI dan/atau MA dan putusan PHI/MA itu telah BHT. Dan bukan hanya pesangon yang didasarkan pada putusan PHI, namun termasuk juga pesangon yang telah disepakati oleh dan antara pekerja/buruh dan pengusaha, dan kesepakatan itu dibuat dalam Perjanjian Bersama (PB) dan PB itu telah didaftarkan di PHI. Jadi, cakupan pidananya bukan hanya atas dasar putusan PHI/MA namun termasuk juga atas dasar PB.

Syarat Kedua

Pekerja/buruh telah mengajukan somasi kepada pengusaha sebanyak 2 kali dalam jangka waktu 14 hari. Jika somasi sudah diajukan 2 kali namun tidak diindahkan, buatlah Laporan Polisi (LP). Bisa ke Polres.

Tindak pidana tidak membayar pesangon ini diatur dalam Pasal 185 Bagian Kedua Bab IV UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 185 ayat (1) itu menyatakan sebagai berikut, "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), dan Pasal 160 ayat (4), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah)."

Pasal 185 ayat (1) ini memuat Pasal 156 ayat (1). Pasal 156 ayat (1) menyatakan sebagai berikut, "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima." Ini normanya, kaidah hukumnya.

Selesai

Semoga bermanfaat

____

Oleh Harris Manalu, S.H.

Advokat -Pengacara & Konsultan Hukum- Ketenagakerjaan

***

Akibat Hukum Pemberlakuan Masa Percobaan Kerja Pada Hubungan Kerja PKWT atau Kontrak

 at February 18, 2022    


Sampai sekarang masih banyak pengusaha menerapkan masa percobaan kerja kepada karyawannya yang hubungan kerjanya tidak tetap atau PKWT. Padahal sejak lama (19 tahun) yang lalu kebijakan percobaan PKWT sudah tidak diperbolehkan, sudah dilarang. Hanya dalam hubungan kerja tetap atau PKWTT yang boleh diterapkan masa percobaan.

Jika ada karyawan atau pekerja atau buruh dalam hubungan kerja kontrak/PKWT menjalani masa percobaan kerja saat ini, apa dampak hukumnya, apa sanksi hukumnya. Mari kita lihat.

Pasal 58 Bagian Kedua Bab IV UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja telah mengatur sebagai berikut:

(1)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

(2)Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.”

Kemudian Pasal 12 PP 35/2021 juga mengatur hal yang sama dengan ketentuan Pasal 58 Bagian Kedua Bab IV UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dan sebetulnya sejak 19 tahun yang lalu larangan masa percobaan kerja bagi PKWT sudah ada diatur dalam UU 13/2003. Hal itu kita jumpai dalam Pasal 58. Pasal 58 itu berbunyi hampir sama dengan UU Cipta Kerja dan PP 35/2021.

Perbedaannya, dalam Pasal 58 ayat (2) UU 13/2003 tidak ada frasa "dan masa kerja tetap dihitung" sebagaimana ada dalam UU Cipta Kerja dan PP 35/2021.  Kita baca misalnya Pasal 58 UU 13/2003:

(1)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

(2)Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum."

Sedangkan UU Ciker mengatur dalam ayat (2)-nya sbb:

"Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung."

Frasa "dan masa kerja tetap dihitung" inilah yang ditambah.

Lalu bagaimana jika pengusaha memberlakukan masa percobaan kerja terhadap karyawannya? Jika pengusaha tetap memperlakukan percobaan dalam hubungan kerja PKWT atau kontrak maka masa kerja percobaan itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.

Dampaknya apa? Misalnya pengusaha memberlakukan masa percobaan selama 3 bulan, lalu setelah masa percobaan itu selesai dan dilanjutkan dengan membuat perjanjian kerja kontak atau PKWT selama 1 tahun atau 12 bulan, maka setelah berakhir PKWT setahun itu karyawan berhak mendapat uang kompensasi sebesar 15 bulan dibagi 12 dikali besar upah sebulan. Jika upah Rp3.000000 maka uang kompensasi sebesar 15/12 x Rp3.000.000 = Rp3.750.000.

Dan jika masa percobaan itu tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan PKWT maka karyawan berhak mendapat uang kompensasi yang disebut percobaan itu sebesar 3 bulan dibagi 12 dikali upah Rp3.000.000 = Rp750.000.

Demikian aturan PKWT dikaitkan dengan penerapan percobaan dan uang kompensasi.

Selesai

Semoga bermanfaat.


Klik video YouTube-nya

______

Oleh Harris Manalu, S.H.

Advokat (Pengacara dan Konsultan Hukum) Ketenagakerjaan

***

Cara Menghitung Pesangon di Indonesia

 at February 12, 2022    

Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja diatur sebagai berikut:
"Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima."

Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 itu saya singkat menjadi PP 35/2021. Dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) PP 35/2021 dapat disimpulkan bahwa pengusaha wajib membayar 3 macam hak karyawan yang mengalami PHK, yaitu:
  1. uang pesangon;
  2. uang penghargaan masa kerja; dan
  3. uang pengantian hak.
Tiga (3) macam hak karyawan itu saya sebut  PESANGON. Saya membedakan istilah pesangon dengan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Kalau saya sebut kata pesangon berarti maksudnya adalah 3 komponen hak karyawan yang mengalami PHK.

Supaya dapat menghitung pesangon seorang karyawan, kita harus terlebih dahulu mengetahui 4 hal: pertama, tentang rumus uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja; kedua, tentang masa kerja karyawan; ketiga, tentang besar upah pokok dan tunjangan tetap karyawan; keempat, tentang alasan PHK; dan kelima, tentang dasar hukum PHK dan besaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.

Sekarang kita lihat dulu rumus perhitungan uang pesangon. Rumus perhitungan uang pesangon diatur pada Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021 sebagai berikut:
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
b.masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
c.masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurangdari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
d.masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
e.masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
f.masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
g.masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
h.masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
i.masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.”

Itu rumus perhitungan uang pesangon. Sekarang kita lihat lagi rumus perhitungan uang penghargaan masa kerja. Rumus perhitungan uang penghargaan masa kerja diatur pada Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021 sebagai berikut:
Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
b.masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
c.masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
d.masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
e.masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
f.masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
g.masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
h.masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah."

Setelah kedua rumus itu kita ketahui baru kita tanya karyawan yang mengalami PHK tentang masa kerjanya berapa lama, berapa tahun, berapa tahun lebih berapa bulan. Dan selanjutnya kita tanya berapa upah pekerja atau para pekerja perbulan, upah pokok dan tunjangan tetap. Setelah itu barulah kita tanya tentang alasan PHK. Menurut pihak pengusaha karena apa, menurut pekerja karena apa.

Setelah kita ketahui alasan PHK-nya barulah kita cari dasar hukum PHK dan besaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Misalnya seorang karyawan kita sebut saja namanya Pak Budi. Pak Budi mempunyai masa kerja 18 tahun 2 bulan. Upah atau gaji pokok dan tunjangan tetap yang dia terima terakhir sebesar Rp5.000.000,-. Menurut Pak Budi PHK itu terjadi karena perusahaan diambilalih (diakusisi) perusahaan lain. Pengusaha hanya memberi uang pesangon 0,5 sesuai ketentuan Pasal 42 ayat (2) PP 35/2021.

Nah, untuk mengetahui berapa besaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja karyawan yang mengalami PHK atas alasan pengambilalihan perusahaan, kita cari di PP 35/2021, di pasal berapa diatur. Dia diatur dalam Pasal 42, sebagai berikut:
"(1)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan pengambilalihan perusahaan maka pekerja/buruh berhak atas:
a.uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);
b.uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan
c.uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).
(2)Dalam hal terjadi pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan syarat kerja dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dan pekerja/buruh berhak atas:
a.uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);
b.uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan
c.uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4)."

Dari keterangan Pak Budi dan 2 norma hukum yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) PP 35/2021 tadi kita ambil dasar hukum yang menjadi perhitungan pesangon Pak Budi adalah ayat (1)-nya.

Nah, sekarang kita hitung pesangon Pak Budi:
1.Menghitung Uang Pesangon (UP):
Tadi masa kerja Pak Budi adalah selama 18 tahun lebih 2 bulan. Kalau masa kerja 18 tahun lebih 2 bulan, berapa bulan upah uang pesangon yang ditetapkan dalam Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021. Kita lihat. Kita cari. i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.

Masa kerja tertinggi dalam perhitungan uang pesangon adalah 8 tahun. Artinya, walaupun masa kerja 9 tahun, 15 tahun atau
32 tahun, uang pesangon hanya dihitung sebesar 9 bulan upah.

Ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a PP 35/2021 menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan pengambilalihan perusahaan maka pekerja/buruh berhak atas: uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

Oleh karena uang pesangon ditetapkan 1 kali sesuai ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan masa kerja 18 tahun lebih 2 bulan mendapat hak 9 bulan bulan upah, dan upah Pak Budi sebesar Rp5.000.000,- maka Pak Budi berhak atas uang pesangon (UP) sebesar:  1 x 9 x Rp5.000.000 = Rp45.000.000,-.

2.Menghitung   Uang   Penghargaan Masa Kerja (UPMK):
Tadi masa kerja Pak Budi adalah selama 18 tahun lebih 2 bulan. Kalau masa kerja 18 tahun lebih 2 bulan, berapa bulan upah UPMK sesuai rumus yang ditetapkan dalam Pasal 40 ayat (3) PP 35. Kita lihat. Kita cari. f. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan Upah;

Masa kerja tertinggi dalam perhitungan uang penghargaan masa kerja adalah 24 tahun seperti di huruf i, masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan Upah. Artinya, walaupun masa kerja 25 tahun, atau 32 tahun, uang penghargaan masa kerja hanya dihitung paling besar 10 bulan upah.

Terkait UPMK, Pasal 42 ayat (1) huruf b PP 35/2021 tadi  menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan pengambilalihan perusahaan maka pekerja/buruh berhak atas: uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3).

Oleh karena UPMK ditetapkan 1 kali sesuai ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf b, dan masa kerja 18 tahun lebih 2 bulan mendapat hak 7  bulan upah sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (3) huruf f PP 35/2021, dan upah Pak Budi sebesar Rp5.000.000,- maka Pak Budi berhak atas uang penghargaan masa kerja (UPMK) sebesar: 1 x 7 x Rp5.000.000 = Rp35.000.000.

3.Menghitung Uang Penggantian Hak (UPH):
1)Cuti Tahunan
Sesuai aturan cuti tahun sebanyak 12 hari dalam 1 tahun. Rata-rata sisa cuti tahunan dalam 1 tahun tinggal 6 hari. Kalau upah Rp5.000.000/bulan maka upah perhari sebesar Rp5.000.000 : 25 hari (sebulan) = Rp200.000 x 6 hari = Rp1.200.000,-.
2)Biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat dimana Pekerja/Buruh diterima bekerja.
Ini misalnya 18 tahun yang lalu pekerja atau Pak Budi diterima di Jakarta dan ditempatkan di Timika-Papua. Terjadi PHK. Maka pengusaha wajib membayar biaya/ongkos (pesawat) pulang si pekerja ke Jakarta misalnya sebesar Rp5.000.000,- Ini kalau hanya si pekerja yang di Timika. Kalau istri dan 1 orang anaknya ikut ke Timika maka pengusaha wajib membayar biaya pulang ke Jakarta sebesar: 3 orang x Rp5.000.000 = Rp15.000.000,-.
3)Hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Misalnya dalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) telah diatur apabila pekerja mengalami PHK dengan masa kerja 16 tahun s/d 19 tahun, pekerja berhak mendapat Uang Pisah (UPis) sebesar 4 bulan upah, maka Pak Budi dapat Upis sebesar: 4 x Rp5.000.000 = Rp20.0000.000,-.

Uang pisah ini dapat kalau sudah disepakati atau diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Apabila tidak diatur maka pekerja tidak berhak mendapat uang pisah (Upis).

Dari data-data tadi maka Pak Budi mendapat PESANGON sebesar sebagai berikut:
  1. Uang Pesangon = 1 x 9 x Rp5.000.000 = Rp45.000.000,-;
  2. UangPenghargaan Masa Kerja: 1 x 7 x Rp5.000.000 = Rp35.000.000,-;
  3. UPH Cuti Tahunan: Rp5.000.000 : 25 hari x 6 hari = Rp1.200.000,-
  4. UPH Ongkos Pulang: 3 orang x Rp5000.000 = Rp15.000.000,-
  5. UPH Uang Pisah: 4 bulan x Rp5.000.000 = Rp20.000.000,-
Jumlah = Rp116.200.000,-

Demikian cara menghitung pesangon (UP, UPMK dan UPH).

Selesai. Semoga bermanfaat
Klik video YouTube-nya
______
Oleh Harris Manalu, S.H.
Avokat Spesialis Hubungan Industrial
Hakim Ad-Hoc PHI 2006-2016
HP/WA: 0812-8386-580
Email: harrismanalu3@gmail.com 
Channel: SAHABAT PHI
***

PKWT 7 Tahun, Setiap Tahun di-Off-kan 1 Bulan, Berhakkah Menjadi PKWTT

 at February 10, 2022    

Dalam Channel "SAHABAT PHI" ada pertanyaan seorang karyawan seperti ini:
"Pak mau nanya, saudara saya sudah bekerja selama 7 tahun, status kontrak. Tapi tiap tahun pas habis kontrak selalu diliburkan selama 1 bulan. Apakah perjanjian kontraknya otomatis berubah menjadi tetap, karena sudah melebihi 5 tahun. Mohon jawabannya pak. Terima kasih."

Kasus atau fakta seperti ini tidak memenuhi syarat untuk dinyatakan menjadi hubungan kerja tetap atau PKWTT. Kenapa? Karena antara setiap kali PKWT berakhir dan dibuat PKWT baru tidak ada hubungan kerja selama 1 bulan. Hubungan kerja terputus selama 1 bulan, tidak terus-menerus.

Untuk menentukan hubungan kerja apa dalam kasus ini, apakah tetap PKWT atau demi hukum berubah menjadi PKWTT harus dilihat dari 2 hal. Pertama, lama PKWT, dan kedua, kontinuitas atau keberlanjutan hubungan kerja.

Namun terlepas dari pertanyaan tadi, terus terang selama 20 tahun lebih saya berkecimpung dibidang ketenagakerjaan saya belum pernah menemukan kasus seperti ini. Sangat luar biasa manajemen perusahaan dapat mengatur pola hubungan kerja seperti ini jika dikaitkan dengan kontinuitas dan stabilitas produksi atau pelayanan perusahaan kepada langganannya.

Demikian topik ini.
Semoga bermanfaat.

Klik penjelasan tuisan ini dalam video Channel "SAHABAT PHI"
___
Oleh Harris Manalu, S.H.
Advokat Spesialis Hubungan Industrial
Hakim Ad-Hoc PHI 2006-2016
HP/WA: 0812-8386-580 
Email: harrismanalu3@gmail.com 

***

PKWT 20 Tahun, 10 Tahun, 2 Tahun, Dapat Berapa Uang Kompensasi?

 at February 09, 2022    

 


Klik video YouTube materi ini di Channel Sahabat PHI.


Di Channel Sahabat PHI ada beberapa pertanyaan tentang uang kompensasi kira-kira seperti ini, kalau PKWT sudah 20 tahun, 10 tahun  atau 2 tahun berapa dapat uang kompensasi?

Misalnya pertanyaan SW seperti ini:
"Maaf mau tanya bang, suami saya sudah bekerja selama 20 tahun statusnya kontrak setiap tahun, tapi tidak mendapatkan kompensasi. Per Januari ini habis kontrak dan kontraknya tidak diambil lagi. Saya mau tanya itu kompensasinya bagaimana?"

Kemudian pertanyaan AA:
"Pak, saya mau tanya, kontrak 10 tahun. Habis kontrak tidak dapat kompensasi, tapi masih bekerja di perusahaan itu."

Pertanyaan yang hampir sama dengan 2 pertanyaan tersebut banyak. Ada pemahaman bahwa uang kompensasi dihitung atau wajib dibayar pengusaha sejak awal PKWT-nya dibuat. Misalnya sejak 20 tahun yang lalu, 15 tahun yang lalu, 10 tahun yang lalu, 5 tahun yang lalu, 2 tahun yang lalu. Bukan seperti itu.

Hak atas uang kompensasi hanya dihitung sejak tanggal diundangkan atau diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, yaitu tanggal 2 November 2020.

Hal itu dapat diketahui dari ketentuan Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021). Pasal 64 itu mengatur sebagai berikut:
"Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

a. uang kompensasi untuk PKWT yang jangka waktunya belum berakhir diberikan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; dan

b. besaran uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dihitung berdasarkan masa kerja Pekerja/Buruh yang perhitungannya dimulai sejak tanggal diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja."

Pasal 64 huruf b PP 35/2021 ini sudah secara jelas dan tegas menyatakan, perhitungan uang kompensasi sejak tanggal diundangkan Undang-Undang Cipta Kerja. Kita tahu UU Cipta Kerja diundangkan dan diberlakukan sejak tanggal 2 November 2020.

Karenanya, terkait pertanyaan AW tadi, walaupun lama PKWT suaminya sudah 20 tahun, tetap uang kompensasinya hanya dihitung sejak tanggal 2 November 2020 sampai tanggal  31 Januari 2022, yaitu 15 bulan.

Perhitungannya bagaimana?
Perhitungannya memakai rumus yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c PP 35/2021 yang mengatur:
"Besaran uang kompensasi diberikan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
"PKWT selama lebih dari 12 bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan: masa kerja : 12 x 1 bulan upah
."

Kalau lama PKWT sudah 20 tahun dan misalnya upah/gaji Rp5.000.000,- maka suami AW tadi dapat sebesar 15 bulan : 12 x Rp5.000.000 = Rp6.250.000,-

Demikian juga AA.  Degan PKWT selama 10 tahun sampai misalnya tanggal 31 Januari 2021 yang lalu, dan upah juga Rp5.000.000,-, maka AA hanya berhak mendapat uang kompensasi sebesar Rp6.250.000,-

Demikian juga karyawan yang hingga tanggal 31 Januari 2022 yang lalu, lama PKWTnya 2 tahun. Apabila upahnya Rp5.000.000,- maka dia berhak yang sama dengan karyawan yang PKWT-nya sudah 20 tahun dan 10 tahun tadi.

Kuncinya:
Sampai dengan tanggal 31 Januari 2022, masa berlaku uang kompensasi baru 15 bulan. Dan sampai tanggal 28 Februari 2022 nanti, 16 bulan.

Selesai

_______

Oleh Harris Manalu, S.H.

Advokat Spesialis Hubungan Industrial

Hakim Ad-Hoc PHI 2006-2016

HP/WA: 0812-8386-580

Email: harrismanalu3@gmail.com

Channel: SAHABAT PHI

Hampir 1 Tahun, Masih Ada Manajemen Perusahaan Yang Belum Memahami Uang Kompensasi

 at January 24, 2022    

Ternyata masih ada manajemen perusahaan yang tidak memahami apa itu uang kompensasi. Ketidakpahaman itu tampak dari pertanyaan seorang karyawan PKWT kepada pihak manajemen melalui chat-chat. 

Chat-chat (whatsapp) itu dapat dilihat pada channel YouTube "Sahabat PHI"

Dalam tulisan ini nama-nama mereka sengaja saya sebut inisialnya untuk  menghormati privasi mereka.

Begini chat-chat mereka:
"Pak A mau tanya masalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan kompensasi"

"Ini siapa ya"

"RS pak, orang scaffolder"

"Oh iya, gimana"

"Kontrak saya tinggal 1 bulan lagi, seandainya saya tidak memperpanjang kontrak dan saya memperpanjang kontrak apa saya mendapat kompensasi"

"Belum seperti itu R, kompensasi dalam artian apa dulu, itu kan sudah jelas bunyi nya bagaimana ya kan"

"Berarti saya dapat kompensasi ya pak"

"Emang mau resign"


"Tidak pak nanya saja, biar jelas"

"Sesuai Undang-undang saja lihatnya, tapi itu disesuaikan dengan kondisi di perusahaan juga"

"Kondisi seperti apa pak"

"Nantilah ya, saya ga bisa jawab langsung, harus konsul dulu ke HO biar sinkron"

"Ya pak saya juga mau tanya-tanya sama Disnaker masalah PP 35 Tahun 2021. Terimakasih pak infonya, maaf sudah ganggu istirahatnya bapak"

"Maksudnya kenapa ini"

"Ok sama-sama RS"

Demikian chat-chat antara seorang karyawan PKWT dengan manajemen perusahaan.

Karenanya, anda yang hubungan kerjanya PKWT atau kontrak, pastikan manajemen perusahaan anda telah memahami dan menyediakan uang kompensasi untuk anda.

Demikian. 
Semoga bermanfaat.
___
Oleh Harris Manalu, S.H.
Advokat Spesialis Hubungan Industrial
Hakim Ad-Hoc PHI 2006-2016
HP/WA: 08128386580
Email: harrismanalu3@gmail.com
Channel: Sahabat PHI
***

Pekerja PKWT Tetap Mendapat Hak Uang Kompensasi Setiap Kali PKWT Berakhir

 at January 22, 2022    

Dalam channel YouTube "Sahabat PHI" ada pertanyaan sebut saja namanya si B seperti ini, "Saya pertama dikontrak 7 bulan sudah dapat uang kompensasi. Dan dikontrak lagi 6 bulan dan sudah dapat uang kompensasi. Terus dikontrak lagi 3 bulan dan tidak dikontrak lagi. Apakah masih bisa mendapatkan uang kompensasi dari yang 3 bulan?".

Terhadap pertanyaan itu saya jawab, "Dapatlah. Aturannya minimal PKWT 1 bulan. Apalagi 3 bulan.".

Lalu dikomentari si B seperti ini, "Saya kira pemberian uang kompensasi tidak sampai 3 kali.".

Kemudian saya katakan seperti ini, "12 kali pun bisa kalau dalam 5 tahun dikontrak per 6 bulan.".

Si B pun menyampaikan, "Baik, terima kasih.".

Nah, apa yang menjadi alasan dan dasar hukum pekerja berhak mendapat uang kompensasi lebih dari 2 kali?

Alasannya adalah seperti ini:

Pasal 6 PP 35/2021 menyatakan pada pokoknya PKWT dapat dibuat selama 5 tahun. Namun PP 35/2021 itu tidak mengatur berapa kali PKWT dapat dibuat selama 5 tahun itu. Karenanya PKWT selama 5 tahun dapat dibuat sebayak 5 kali jika jangka waktu setiap PKWT dibuat per 1 tahun. Bisa juga 10 kali jika jangka waktu setiap PKWT dibuat selama 6 bulan. Bahkan bisa 20 kali jika jangka waktunya dibuat per 3 bulan selama 5 tahun atau 60 bulan itu.

Karenanya, berdasarkan ketentuan Pasal 15 PP 35/2021 yang ayat (2)-nya menyatakan,  "Pemberian uang kompensasi dilaksanakan pada saat berakhirnya PKWT." dan ayat (4) -nya menyatakan, "Apabila PKWT diperpanjang, uang kompensasi diberikan saat selesainya jangka waktu PKWT sebelum perpanjangan dan terhadap jangka waktu perpanjangan PKWT, uang kompensasi berikutnya diberikan setelah perpanjangan jangka waktu PKWT berakhir atau selesai.", maka setiap kali PKWT berakhir,   pekerja berhak mendapat uang kompensasi dan/atau pengusaha wajib membayar uang kompensasi, berapa kalipun PKWT itu berakhir. 

Yang penting, jangka waktu PKWT itu dibuat minimal selama 1 bulan. Karena jika PKWT dibuat kurang 1 bulan maka berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) PP 35/2021 pekerja tidak berhak mendapat uang kompensasi.

Demikian bunyi Pasal 15 ayat (3) PP 35/2021: "Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit 1 bulan secara terus menerus.

Demikian.
Semoga bermanfaat.

___

Oleh Harris Manalu, S.H.

Advokat


Pekerja PKWT Pada Outsourcing Tetap Dapat Cuti Tahunan

 at January 22, 2022    

Dalam channel YouTube "Sahabat PHI" ada pertanyaan pekerja yang disebut saja namanya si A seperti ini: "Ijin bertanya, saya satpam di perusahaan outsourcing. Dan saya tidak diberikan hak cuti, padahal saya disana sudah bekerja sudah hampir 3 tahun. Kira-kira apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan hak cuti? Apakah saya harus melaporkannya?".

Terhadap pertanyaan itu saya jawab seperti ini:
"Hak pekerja termasuk Satpam, baik di perusahaan outsourcing maupun di perusahaan induk (perusahaan pemberi kerja) adalah sama. Perusahaan wajib memberi hak cuti tahunan 12 hari dalam setahun. Jika sudah diminta baik-baik lalu manajemen tidak memberi, hal itu dapat dilaporkan ke pengawas ketenagakerjaan. Itu hak normatif.".

Lalu si A memberitahu dan bertanya lagi: "Terima kasih atas jawabannya. Kemarin sempat meminta hak cuti tersebut, tetapi dari pihak outsourcing tidak memberikan dengan alasan kontrak yang diberikan hanya 1 tahun jadi tidak ada hak cuti. Kira-kira apa yang harus saya lakukan lagi. Terima kasih.".

Kemudian saya jawab: "Lapor ke Disnaker. Kan PKWT sudah hampir 3 tahun.".

Terkait dengan tanya-jawab tersebut maka yang perlu digaris bawahi adalah bahwa segala hak dan kewajiban pekerja yang bekerja pada perusahaan, baik perusahaan pemberi kerja atau perusahaan induk maupun perusahaan penerima kerja atau perusahaan outsourcing, dan apapun jenis pekerjaannya adalah sama. Tidak ada perbedaan.

Hal itu dapat dilihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) Bagian Kedua Bab IV UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan, "Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.".

Pasal 79 ayat (3) Bagian Kedua Bab IV UU 11/2020 tentang Cipta Kerja sudah mengatur pada pokoknya bahwa  pengusaha wajib memberi cuti tahunan kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

Frasa setelah bekerja sekurang-kurangnya 12 bulan mempunyai makna, jika PKWT dibuat dalam jangka waktu 1 tahun, misalnya,  dari tanggal 21 Januari 2021 s/d tanggal 20 Januari 2022 lalu PKWT itu diperpanjang lagi selama 1 tahun lagi maka sejak tanggal 21 Januari 2022 sudah timbul hak cuti tahunan.

Demikianlah halnya si A yang berprofesi sebagai Satpam atau Security tadi yang sudah menjalani PKWT hampir selama 3 tahun. Berdasarkan alasan dan dasar hukum tadi, ia pun mempunyai hak untuk mendapat cuti tahunan walaupun hubungan kerjanya didasarkan pada  PKWT.

Demikian.
Semoga bermanfaat.

____

Oleh Harris Manalu, S.H.

Advokat

Pengaturan PHL - Pekerja Harian Lepas - Dalam UU 13/2003 Sama Dengan di UU Cipta Kerja

 at January 20, 2022    

Klik video YouTube-nya.

Pertanyaan atas topik ini adalah apakah ada perubahan ketentuan atau aturan atau hukum tentang hubungan kerja yang didasarkan pada Perjanjian Kerja Harian Lepas dalam UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dan PP No. 35/2021 berbeda dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan?

Jawabannya, tidak. Aturanya tetap sama. Aturan utamanya adalah:
1.Pekerja/Buruh harus bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan;
2.Apabila bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka Perjanjian Kerja Harian Lepas itu menjadi tidak berlaku dan hubungan kerja antara pengusaha atau perusahaan dengan pekerja/buruh demi hukum berubah menjadi  PKWTT atau karyawan tetap.

Dimana itu diatur?
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK.

Seperti ini bunyi ayat (3): "Perjanjian Kerja harian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan Pekerja/Buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan."

Ayat (4) berbunyi seperti ini: "Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu hari) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka Perjanjian Kerja harian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tidak berlaku dan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh demi hukum berubah berdasarkan PKWTT.".

Pasal 11  PP 35/2021 juga memberi perlindungan hukum kepada PHL atau BHL. Pasal 11 ayat (1) menyatakan, "Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) membuat perjanjian kerja harian secara tertulis dengan pekerja/buruh.".

Ayat (2) Pasal 11 itu berbunyi, "Perjanjian kerja harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat secara kolektif dan paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat perusahaan atau pemberi kerja;
b. nama dan alamat pekerja/buruh;
c. jenis pekerjaan yang dilakukan; dan
d. besarnya Upah.

Ayat 3 berbunyi,
"Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi hak-hak lekerja/buruh termasuk hak atas program jaminan sosial.".

Bagaimana Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung menerapkan aturan PHL atau BHL itu?

Mari kita lihat 2 putusan Mahkamah Agung yang menguatkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial berikut ini.

1.Putusan Mahkamah Agung Nomor  670 K/Pdt.Sus-PHI/2015:
Pertimbangan hukumnya antara lain sebagai berikut:
"Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang mengabulkan gugatan Para Penggugat atas uang pesangon telah benar penerapan hukumnya;

Bahwa sebagaimana juga telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial bahwa hubungan kerja antara para Penggugat dengan Tergugat bukan Perjanjian Kerja Harian Lepas karena melanggar ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Kepmenakertrans Nomor 100/VI/2004.

Bunyi Pasal 10 Kepmenakertras 100/2004 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun  2021 pada intinya adalah sama.

2.Putusan Mahkamah Agung Nomor  837 K/Pdt.Sus-PHI/2020, dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan antara lain sebagai berikut:
"Hubungan kerja adalah PKWTT karena melanggar ketentuan Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yunto Pasal 10 ayat (3) Kepmenakertrans Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, demi hukum status hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) terhitung sejak terjadinya penyimpangan perjanjian kerja harian lepas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengaturan hubungan kerja harian lepas atau PHL atau BHL dalam UU 13/2003 dan UU 11/2020 dan aturan turunannya PP, yaitu PP 35/2021.

Demikian topik ini.
Semoga bermanfaat.

______

Oleh Harris Manalu, S.H.

***

Bagaimana Langkah dan Administrasi Perundingan Bipartit yang Wajib Dipenuhi?

 at December 13, 2021    
Topik ini akan menjelaskan perihal langkah-langkah apa saja yang dilakukan dalam melakukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit. Kemudian administrasi apa saja yang dibuat dan diperlukan. Kemudian, seperti apa isi yang diperlukan itu. Dan lain-lain yang terkait dengan perundingan bipartit.

Dasar hukum perundingan bipartit adalah:
  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; dan
  2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 31 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalu Perundingan Bipar
Berikut penjelasan terkait perundingan bipartit secara praktis dari pengalaman-pengalaman selama ini, dilengkapi dengan contoh-contoh.

Perundingan bipartit wajib dilakukan. Jika perundingan bipartit tidak dilakukan maka akan terjadi hambatan untuk penyelesaian ke tahap selanjutnya atau ke tahap mediasi. Jika ditahap mediasi sudah terhambat atau gagal maka dengan sendirinya ke tahap berikutnya, yaitu pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pun dengan sendirinya terhambat, tidak bisa. Karena ketika mengajukan gugatan ke PHI wajib dilampirkan surat Anjuran yang dibuat dan dikeluarkan Mediator Disnaker yang memediasi perselisihan atau perkara.

Siapa yang mengajukan permohonan perundingan, apakah pekerja atau pengusaha? Tentu, siapa yang lebih dulu. Boleh pihak pekerja atau serikat pekerja. Dan boleh pihak pengusaha atau manajemen perusahaan.

Jika misalkan pihak pekerja atau serikat pekerja yang mengajukan permohonan, seperti apa bentuk surat permohonannya. 

Berikut contoh surat permohonan perundingan bipartit pertama. Contoh ini  memakai kuasa hukum dari Advokat. Jika kuasa hukumnya dari pengurus serikat pekerja maka tinggal menyesuaikan identitas kuasa hukum.

Surat ini dibuat tanggal 17 November 2021 dan diminta berunding tanggal 23 November  2021. Selalulah berikan jarak waktu selama 1 (satu) minggu. Soal tempat boleh diminta di kantor kuasa dan boleh di kantor perusahaan itu sendiri.


















Ketika menyerahkan surat permohonan mintalah tanda terimanya. Lihat tanda terima surat ini dibuat dan ditandatangani dan disebut nama penerima dan tanggal penerimaan tanggal 17 November 2021 juga dalam fotocopy surat permohonan. 
Jika permohonan tidak ditanggapi atau perundingan tidak terjadi, maka tanda terima ini nanti akan dijadikan sebagai bukti atau lampiran pencatatan perselisihan yang alami kepada Disnaker bahwa upaya bipartit sudah dilakukan secara maksimal namun misalnya tidak ditanggapi pihak manajemen perusahaan.













Kebetulan dalam kasus ini pihak perusahaan menanggapi surat permohonan pertama seperti ini.
















Namun secara tidak langsung pihak perusahaan menolak melakukan perundingan atas alasan menurut pihak perusahaan tidak pernah melakukan PHK dan kasus ini katanya sudah selesai. Lalu kita ajukan lagi surat permohonan perundingan bipartit yang kedua seperti di bawah ini. Surat permohonan perundingan bipartit yang kedua atau terakhir ini dibuat tanggal 22 November 2021 dan diterima tanggal 23 November 2021 oleh pihak perusahaan. Diminta untuk berunding seminggu kemudian tanggal 30 November 2021.














Surat kedua ini juga dibalas pihak perusahaan yang isinya secara tidak langsung juga menolak melakukan perundingan bipartit.

















Pihak perusahaan meminta agar pihak pekerja terlebih dahulu menyampaikan surat PHK kepada pihak perusahaan. Jika surat PHK ada, barulah pihak perusahaan bersedia melakukan perundingan bipartit. Padahal 2 (dua) orang pekerja ini tidak ada menerima surat PHK. PHK itu terjadi hanya secara lisan dan dilarang masuk kerja.

Karena sudah 2 (dua) kali mengajukan permohonan  dalam waktu yang patut namun ditolak perusahaan maka pihak pekerja mencatatkan perselisihannya kepada Sudinnakertrans Jakarta Selatan dengan melampirkan 2 (dua) tanda terima permohonan dan 2 surat jawaban pihak perusahaan.

Itu contoh permohonan perundingan bipartit namun  ditolak

Kemudian dapat lihat contoh perundingan bipartit terjadi 2 kali namun gagal, tidak mencapai penyelesaian. Berikut contoh surat permohonan perundingan bipartit pertama.



















Surat ini dibuat tanggal 16 November 2020 meminta perundingan dilakukan pada tanggal 23 November 2020 di kantorperusahaan. Permohonan ini ditanggapi pihak perusahaan dengan mengirim surat kepada pihak pekerja minta penjadwalan ulang perundingan dari tanggal 23 menjadi tanggal 1 Desember 2020. Hal itu diminta atas alasan pada tanggal 23 tersebut sudah padat jadwal pihak perusahaan.
















Pada tanggal 1 Desember 2020 terjadi perundingan bipartit pertama. Dalam perundingan bipartit ini dibuat juga Daftar Hadir pihak-pihak yang hadir dan Risalah Perundingan.
Daftar Hadir ini berisi: tanggal perundingan, tempat, acara perundingan keberapa, masalah pokoknya apa, nama, kedudukan dan tandatangan para pihak. 










Setelah perundingan selesai dibuat Risalahnya seperti ini:
Risalah ini berisi: judul surat, nama perusahaan, nama kuasa pengusaha -tentu pihak HRD atau Advokat, alamat perusahaan, nama pekerja, alamat pekerja, nama dan alamat kuasa pihak pekerja,  tanggal dan tempat perundingan, pokok masalahnya apa, inti atau pokok pendapat pihak pekerja dan pihak pengusaha atas perselisihan, kesimpulan atau hasil perundingan, lalu ditandatangani para pihak, baik pihak pekerja maupun pihak pengusaha.

Dapat dilihat dalam contoh ini, pokok masalahnya dicantumkan adalah: pembebasan jabatan Kepala Cabang,  mutasi dan demosi terhadap pekerja dari kantor pusat Jakarta Selatan ke cabang Palembang dengan jabatan Junior Officer terhitung sejak tanggal …. tahun 2020 s/d 2 tahun kemudian atas alasan pekerja melakukan pelanggaran terhadap peraturan perusahaan dan perselisihan yang mendahuluinya.

Inti pendapat pekerja dicantumkan: tetap pada permintaan sesuai surat kuasa hukum nomor 45 tahun 2020 tanggal 1 Desember 2020 dan minta perlu pertemuan berikutnya. 
















Inti pendapat pekerja dicantumkan: tetap pada permintaan sesuai surat kuasa hukum nomor 45 tahun 2020 tanggal 1 Desember 2020 dan minta perlu pertemuan berikutnya. 

Dalam kasus ini selain surat permohonan perundingan bipartit pertama, kuasa hukum juga pada saat terjadi perundingan sudah membuat kronologi kasus dan tuntutan serta disampaikan kepada pihak manajemen.

Inti pendapat pengusaha dicantumkan: menerima surat tuntutan dari kuasa hukum untuk dipelajari terlebih dahulu.
Kemudian kesimpulan atau hasil perundingan dicantumkan: para pihak sepakat melakukan 
perundingan bipartit ke-2 hari Selasa tanggal 8 Desember 2020, pukul 10 WIB, bertempat di kantor perusahaan.

Dalam perundingan bipartit kedua juga dibuat Daftar Hadir dan Risalah. Ini contoh Daftar Hadir perundingan bipartit ke-2.Isinya tinggal menyesuaikan judul, tanggal, tempat, acara perundingan keberapa. Selainnya, sama isinya dengan daftar hadir perundingan bipartit pertama.



























Formatnya sama dengan format Risalah Perundingan Pertama. Namun isinya berbeda terutama yang menjadi perhatian pada Kesimpulan atau Hasil Perundingan. Dapat dilihat pada Risalah Perundingan Kedua ini, Pokok masalah sama dengan yang pertama, pendapat pihak pekerja juga sama dengan pendapatnya pada risalah pertama, yaitu tetap pada permintaan sesuai surat kuasa hukum nomor 45 tahun 2020 tanggal 1 Desember 2020.

Sedangkan pendapat pengusaha sudah berubah menjadi: pengusaha memberikan surat jawaban kepada pihak kuasa hukum pekerja yang berisi tetap pada keputusan manajemen.

Pada bagian Kesimpulan atau Hasil Perundingan menjadi berisi sebagai berikut: perselisihan ini disepakati pihak pekerja dan pihak pengusaha diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum (PPHI).

Karena perundingan bipartit sudah gagal maka pihak pekerja mencatatkan perselisihan ini kepada Sudinnakertrans Jakarta Selatan dengan melampirkan daftar hadir perundingan dan risalah 2 (dua) kali.


















Itu langkah-langkah dan administrasi yang dibuat jika perundingannya mengalami kegagalan. 

Lalu, bagaimana jika berhasil. Artinya, antara pekerja dan pengusaha terjadi kesepakatan untuk berdamai menyelesaikan perselisihan?

Jika terjadi perdamaian, buatlah Perjanjian Bersama (PB). Dalam PB tuangkan hal-hal yang disepakati, dengan catatan, hal-hal yang disepakati harus konkrit, jelas dan tegas. Harus dapat dieksekusi Pengadilan Hubungan Industrial. Jangan tuangkan kesepakatan dengan kalimat, bahasa atau redaksi yang bersifat umum.

Misalnya, jangan dibuat bahasa atau redaksi seperti ini: "Pengusaha wajib memberi hak 
pesangon kepada pekerja." 

Kesepakatan seperti itu tidak dapat dieksekusi  PHI jika dikemudian hari misalnya pengusaha tidak bersedia membayar sesuai yang disepakati secara lisan tapi nilai yang disepakti secara lisan tidak dituangkan dalam PB.

Jadi harus disebut nilainya. Misalnya, "Pengusaha wajib memberi/membayar hak pesangon kepada Pekerja sebesar Rp100 juta."

Berikut contoh Perjanjian Bersama hasil perundingan bipartit:

PERJANJIAN BERSAMA

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:
  1. PURNAMA, selaku Presiden Direktur, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. X, beralamat di Wisma A, Lt. 2, Jl. Letjend. S. Parman Kav. X Jakarta, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA;
  2. DEWINA, Warganegara Indonesia, pekerjaaan/jabatan: Eks Assistant Manager Finance PT. X, beralamat di Jl. Y No. 9, Kel. Cipinang Cempedak, Kec. Jatinegara, Jakarta Timur, dalam hal ini bertindak untuk atas nama diri sendiri, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA;
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA secara bersama-sama disebut PARA PIHAK telah setuju dan sepakat untuk membuat Perjanjian Bersama ini demi menjamin kepastian hukum, dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1
Penyelesaian Perselisihan

(1)PIHAK PERTAMA selaku pengusaha dan PIHAK KEDUA selaku karyawan/pekerja telah setuju dan sepakat untuk menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui bentuk perdamaian sebagai hasil perundingan bipartit.
(2)PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah setuju dan sepakat untuk mengakhiri hubungan kerja antara kedua belah pihak, atau mengadakan pemutusan hubungan kerja terhitung sejak tanggal 21 Maret 2019.

Pasal 2
Uang Kompensasi

(1)Dengan telah tercapainya penyelesaian perselisihan antara PIHAK PERTAMA dengan PIHAK KEDUA dengan perdamaian sebagaimana dimaksud Pasal 1, maka PIHAK PERTAMA bersedia memberikan uang kompensasi kepada PIHAK KEDUA berupa dan sebesar sebagai berikut:
a.Uang pesangon: 2 x 6 x Rp26.326.411,- = Rp315.916.932,-
b.Uang penghargaan masa kerja: 1 x 2 x Rp26.326.411,- = Rp52.652.822,-
c.Uang penggantian hak perumahan/ pengobatan/ perawatan:  15% x Rp368.569.754,- = Rp55.285.463,-
Jumlah = Rp423.855.217,- (Empat ratus dua puluh tiga juta delapan ratus lila puluh lima ribu dua ratus tujuh belas ribu rupiah);
(2)Jumlah uang kompensasi pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi atas biaya-biaya dan ongkos-ongkos, baik hak-hak yang sudah pernah diterima PIHAK KEDUA dari PIHAK PERTAMA maupun segala kewajiban PIHAK KEDUA selaku pengusaha/pemberi kerja kepada Negara Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan sebesar Rp73.455.732,- (Tujuh puluh tiga juta empat ratus lima puluh lima ribu tujuh ratus tiga puluh dua ribu rupiah);
(3)Dari perhitungan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) maka kewajiban membayar PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA dan hak yang diterima PIHAK KEDUA dari PIHAK PERTAMA menjadi sebesar Rp350.399.485,- (Tiga ratus lima puluh juta tiga ratus sembilan puluh sembilan ribu empat ratus delapan puluh lima rupiah).
(4)Pembayaran uang kompensasi dari PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA sebagaimana tersebut pada ayat (3), yaitu sebesar Rp350.399.485,- (Tiga ratus lima puluh juta tiga ratus sembilan puluh sembilan ribu empat ratus delapan puluh lima rupiah) telah dibayar PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA mengaku telah menerima pembayaran dari PIHAK PERTAMA melalui transfer bank ke rekening BCA No. 00000000000 atas nama SRI DEWINA(PIHAK PERTAMA) dan diperkuat kwitansi/surat bukti tanda penerimaan.
(5)Pembayaran melalui transfer dan kwitansi penerimaan sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah sebagai bukti penerimaan pembayaran uang kompensasi sebagaimana dimaksud ayat (1).

Pasal 3
Penuntutan

Dengan telah terjadinya kesepakatan perdamaian penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja secara musyawarah/ perundingan bipartit diantara Para Pihak, maka Para Pihak dengan ini menyatakan tidak akan saling menuntut lagi, baik sekarang maupun dikemudian hari, baik secara perdata (hubungan industrial) maupun secara pidana sepanjang berkaitan dengan permasalahan sebagaimana tersebut di atas pada Pasal 1 dan Pasal 2, dan Perjanjian Bersama ini merupakan akta yang mengikat bagi Para Pihak yang dibuat berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, untuk dapat dilaksanakan secara baik oleh Para Pihak.

Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup dan ditandatangani oleh Para Pihak sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sama dan masing-masing pihak memegang 1 (satu) rangkap asli Perjanjian Bersama ini.

Jakarta, 21 Maret 2019

Pihak Pertama, 
PT. X 


Purnama

Pihak Kedua,
Karyawan/Pekerja


Dewina

Demikian topik ini. Semoga bermanfaat.

KLIK VIDEO YOUTUBENYA:

____
Oleh Harris Manalu, S.H.
***