Masalah RUU Cipta Kerja-Klaster Ketenagakerjaan, Seri 1 PKWT

 at April 12, 2020    
Substansi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam RUU Cipta Kerja-Klaster Ketenagakerjaan Berdampak Buruk Bagi Pekerja/Buruh


Saat ini hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, disingkat PKWT, atau kontrak diatur dalam Pasal 56 s/d Pasal 62 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disingkat: UU No. 13/2003. Pasal 59 ayat (1) telah jelas dan tegas mengatur jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang dapat dibuat PKWT. Artinya, tidak semua jenis atau sifat pekerjaan dapat dibuat PKWT. Bahkan Pasal 59 ayat (2) UU No. 13/2003 telah secara jelas dan tegas menetapkan PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Namun dalam Rancangan Undang Undang Cipta Kerja-Klaster Ketenagakerjaan, disingkat: RUU CK-KK, hubungan kerja yang didasarkan pada PKWT atau kontrak diberlakukan untuk semua jenis dan sifat pekerjaan, termasuk pekerjaan yang bersifat tetap. RUU CK-KK telah menghapus ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No. 13/2003.

Kemudian jangka waktu PKWT paling lama 3 (tiga) tahun yang saat ini diatur dalam Pasal 59 ayat (4) UU No. 13/2003 dihapus dalam RUU CK-KK. RUU CK-KK mengatur jangka waktu hanya ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak (pekerja/buruh dengan pengusaha) {lihat Pasal 56 ayat (3) RUU CK-KK}. Karena hanya atas dasar kesepakatan para pihak maka sangat terbuka peluang jangka waktu yang dituangkan dalam perjanjian kerja hanya sesuai dengan kepentingan pengusaha, mengingat daya tawar pekerja/buruh dalam hal negosiasi syarat kerja dan hak sangat lemah. Boleh 1 (satu) bulan. Boleh 1 (satu) tahun. Boleh 10 (tahun). Bahkan secara yuridis (RUU CK-KK) dapat dibuat selama pekerja/buruh bekerja pada pengusaha yang sama, misalnya selama 30 (tiga) puluh tahun. Perjanjian dibuat dan ditandatangani setiap tahun untuk 30 (tiga puluh) kali.

Sistem PKWT sedemikian dalam RUU CK-KK membuka peluang bagi pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh mengalami depresi di tempat kerja. Hal itu dapat terjadi sebagai dampak tiadanya pengaturan jangka waktu berapa lama atau berapa tahun PKWT dapat diberlakukan. Pasal 61 ayat (1) RUU CK-KK mengatur bahwa jika pekerja/buruh mengakhiri hubungan kerja atau mengundurkan diri tanpa persetujuan pengusaha maka pekerja/buruh wajib membayar ganti rugi sebesar sisa masa kontrak dikali upah sebulan. Dalam banyak kasus, atas alasan tertentu, misalnya alasan target produksi atau penjualan tidak tercapai, pengusaha melakukan demosi kepada pekerja/buruh dari jabatan manager menjadi pekerja/buruh non-jabatan. Dalam sistem PKWT yang dibangun dalam RUU CK-KK, pekerja/buruh sangat tidak mungkin mengakhiri hubungan kerja atau mengundurkan diri tanpa persetujuan pengusaha. Jika mengundurkan diri tanpa persetujuan pengusaha maka pekerja/buruh wajib membayar ganti rugi yang sangat besar kepada pengusaha. Dapat dibayangkan jika upah sebesar Rp 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) per bulan, dan jangka waktu PKWT/kontrak selama 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan masa kontrak baru dijalani selama 1 (satu) tahun. Maka ganti rugi yang harus dibayar pekerja/buruh adalah sebesar 9 tahun x 12 bulan x Rp 10.000.000,- = Rp 1.080.000.000,- (Satu milyar delapan puluh juta rupiah). 

Peluang yang dibuka RUU CK-KK sebagaimana diuraikan di atas akan berakibat pengusaha akan lebih memilih hubungan kerja dengan pekerja/buruh dengan pola kontrak/PKWT karena biaya lebih murah dan laba lebih besar. Hubungan kerja bersifat tetap atau PKWTT menjadi pilihan dan barang mahal yang mengurangi laba perusahaan. Sistem PKWT yang sedemikian sudah pasti akan lebih memperburuk kehidupan pekerja/buruh dan keluarganya jika dibandingkan dari UU No. 13/2003 yang juga masih dianggap buruk. Kepastian, jaminan dan perlindungan hukum untuk keberlanjutan bekerja dan mendapat upah yang layak serta pesangon menjadi tidak ada.
_______________________
Penulis Harris Manalu
Praktisi Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial 
Jakarta Timur, 12 April 2020