Masalah RUU Cipta Kerja - Klaster Ketenagakerjaan. Seri 3 Pengupahan

 at April 13, 2020    
Sistem Pengupahan Dalam RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan Berdampak Buruk Bagi Pekerja/Buruh


Pengupahan dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disingkat: UU No. 13/2003, diatur dalam Pasal 88 s/d Pasal 98. Undang-undang ini menetapkan adanya upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektor provinsi (UMSP) dan upah minimum sektor kabupaten/kota (UMSK). Nilai UMSK lebih besar dari UMSP, UMSP lebih besar dari UMK, dan UMK lebih besar dari UMP. Empat (4) tingkat besaran upah itu berlaku untuk semua jenis industri dan jasa serta  tanpa pembedaan besar kecilnya suatu perusahaan. Gubernur untuk menetapkan besaran masing-masing tingkatan wajib memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Namun pada RUU Cipta Kerja-Klaster Ketenagakerjaan, disingkat: RUU CK-KK, 4 (empat) tingkat besaran upah tersebut dihapus.  

RUU CK-KK mengubah sistem pengupahan secara revolusioner. Upah ditetapkan menjadi 3 (tiga) klaster/tingkatan. Pertama, UMP yang hanya berlaku pada perusahaan berskala sedang, besar dan non padat karya, bisa disebut UMP Non-IPKMK. Kedua, UMP yang berlaku pada industri padat karya, bisa disebut UMP IPK. Dan ketiga, upah pada usaha/perusahaan mikro dan kecil yang hanya didasarkan pada kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh, bisa disebut UPAH MK. Dan peran Dewan Pengupahan pun ditiadakan. Untuk menetapkan besaran UMP tidak ada lagi kewajiban Gubernur memperhatikan rekomendasi  Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.

Pasal 88C menyebut sebagai berikut:
(1)-Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.
(2)-Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

Pasal 88E menyebut sebagai berikut:
(1)-Untuk menjaga keberlangsungan usaha dan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh industri padat karya, pada industri padat karya ditetapkan upah minimum tersendiri. 
(2)-Upah minimum pada industri padat karya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditetapkan oleh Gubernur.
3)-Upah minimum pada industri padat karya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan formula tertentu. 

Pasal 90B menyebut sebagai berikut:
(1)-Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
(2)-Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan.
(3)-Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus di atas angka garis kemiskinan yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Permasalahnnya adalah, nilai UMSK yang lebih besar dari UMSP, UMSP yang lebih besar dari UMK, dan UMK yang lebih besar dari UMP tidak akan diterima para pekerja/buruh lagi manakala RUU CK-KK dinyatakan berlaku. Menjadi masalah juga, RUU ini membuat pengaturan hukum yang tidak pada tempatnya dan tidak seharusnya diatur, yaitu Gubernur dikenai sanksi jika tidak menetapkan UMP usaha skala sedang, besar, non indunstri padat karya, dan UMP untuk industri padat karya {lihat Pasal 88G ayat (1)}. Dan jika tidak ditetapkan maka UMP yang berlaku adalah UMP yang berlaku tahun sebelumnya {lihat Pasal 88G ayat (2)}. Pertanyaanya, jika UMP 2021 dan UMP 2022 tidak ditetapkan Gubernur lalu UMP 2020 tetap berlaku untuk UMP 2023? Dimana logika hukum ketentuan ini?

Masalah lain, ketentuan tentang penetapan besaran upah pada usaha atau perusahaan skala mikro dan kecil yang besarannya hanya ditetapkan oleh pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan, dan besaran upah sah jika sudah di atas angka garis kemiskinan yang ditetapkan lembaga yang berwenang di bidang statistik  {lihat Pasal 90B ayat (2) dan ayat (3)}. Artinya, penetapan upah pada usaha/perusahaan berskala mikro dan kecil tanpa perlindungan atau intervensi dari pemerintah.

Masalah khusus untuk upah pada usaha/perusahaan mikro dan kecil adalah, pertama, sekecil apapun upah yang ditetapkan pengusaha pasti diterima pekerja/buruh yang mayoritas hanya lulusan SD, SMP, dan SMA, bahkan tidak lulus SD, karena posisi tawar pekerja/buruh sangat rendah jika dibandingkan dengan posisi tawar pengusaha. Kedua, angka garis kemiskinan yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) untuk 1 (satu orang per Maret 2019 adalah Rp425.250,-/kapita/bulan, dan rata-rata untuk 1 (satu) rumah tangga memiliki 4,68 orang menjadi hanya sebesar Rp1.990.170,-/rumah tangga miskin/bulan. (lihat: https://www.bps.go.id/pressrelase/2019/07/15/1629/persentase-penduduk-miskin-maret-2019-sebesar-9-41-persen.html. "Persentase Penduduk Miskin Maret 2019 Sebesar 9,41 Persen". Diakses 13 April 2020 : 11:57). Dan per September 2019 hanya sebesar Rp440.538,-/kapita/bulan (lihat: https://bisnis.com/amp/read/20200115/9/1190395/garis-kemiskinan-pada-september-2019-capai-rp440.538kapitabulan. "Garis Kemiskinan pada September 2019 Capai Rp440.538/Kapita/Bulan". Diakses 13 April 2020 : 12:15). Artinya, jika pengusaha membayar upah seorang pekerja/buruh lajang di Jakarta sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) pada Maret 2019 atau September 2019 adalah sah menurut hukum. Padahal UMP misalnya di DKI Jakarta pada tahun 2019 sudah sebesar Rp 4.276.349,-. Apakah hidup layak dengan pendapatan Rp 500.000,- per bulan di Jakarta? Sewa kontrakan rumah petak saja sudah minimal Rp 700.000,- per bulan. Untuk makan, transport, pakaian darimana? Dan bagaimana jika sudah mempunyai suami/istri dan 2 (dua) anak?

Dengan sistem pengupahan yang dirancang sedemikian maka RUU CK-KK ini akan sangat memperburuk hidup pekerja/buruh dan keluarganya jika dibandingkan dengan sistem yang diatur dalam UU No. 13/2003, bahkan akan berdampak buruk terhadap stabilitas bangsa ini. Kemiskinan akan bertumbuh cepat, daya beli masyarakat akan anjlok, kelanjutan pendidikan anak-anak akan terhambat, dan produktifitas pekerja/buruh Indonesia yang dikeluhkan pengusaha selama ini akan lebih anjlok karena gizi pekerja/buruh tidak terpenuhi dan kejiwaannya senantiasa tergoncang atas biaya hidup yang tidak layak.
__________________
Penulis: Harris Manalu
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial
Jakarta, 13 April 2020