Oleh
Harris Manalu
A. PENGANTAR
Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) sudah menjadi pandemi global. Dan
bukan lagi hanya krisis kesehatan, tapi telah
bermutasi dan
bertindih dengan krisis ekonomi.
Untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 baik
Pemerintah pusat maupun daerah telah melakukan berbagai upaya strategis, antara
lain menerapkan kebijakan physical distancing, social
distancing, dan bahkan telah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (COVID-19), yang berlaku sejak tanggal 31 Maret 2020. Demikian
juga Pemerintah Daerah (Pemda) telah menerbitkan kebijakan publik
masing-masing. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020
tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta, yang berlaku mulai tanggal
10 April 2020.
Akibat kebijakan itu, sebagian pelaku usaha
(pengusaha) menerapkan sistem kerja pekerja/buruh dari rumah atau Work From Home (WFH), menutup sebagian atau seluruh
operasional usaha, merumahkan pekerja/buruh, bahkan melakukan pemutusan hubungan
kerja (PHK). Pengusaha melakukan pelanggaran hukum jika tidak mematuhi kebijakan
dan/atau peraturan yang dibuat Pemerintah. Dampaknya, penghasilan
pekerja/buruh, hak-hak normatif pekerja/buruh tentang upah, pesangon, Tunjangan
Hari Raya Keagamaan (THR) dan hak lainnya menjadi bermasalah. Sementara akses berunding
(perundingan bipartit) ditolak pengusaha atas alasan mematuhi
kebijakan/peraturan Pemerintah tentang physical distancing atau social
distancing atau PSBB.
Data per 24 April 2020, Gugus Tugas Percepatan
Penanganan (COVID-19) merilis, di Indonesia terdapat kasus
positip corona sebanyak 8.211 orang, sembuh 1.002 orang, dan korban meninggal
689 orang. Sementara, mengutip Kompas.com
(23/04/2020), Menteri Tenaga
Kerja Ida Fauziyah menyampaikan data per 20 April 2020, terdapat 2.084.593
buruh dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan kena pemutusan hubungan kerja
(PHK) akibat terimbas pandemi Covid-19, dengan rincian sektor
formal 1.304.777 orang dirumahkan dari 43.690 perusahaan, yang
terkena PHK mencapai 241.431 orang dari 41.236 perusahaan, dan sektor informal
kehilangan 538.385 pekerja yang terdampak dari 31.444 perusahaan atau usaha
mikro, kecil dan menengah.
Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut, maka dalam rangka perlindungan pekerja/buruh dan
kelangsungan perusahaan dalam masa pandemi Covid-19, Pemerintah
melalui Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada
tanggal 17 Maret 2020 menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor
M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha
Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. Surat edaran
tersebut ditujukan kepada para Gubernur di seluruh Indonesia. Permasalahannya, apakah
surat edaran tersebut cukup memberi legalitas dan kepastian hukum untuk
melindungi hak-hak normatif pekerja/buruh ditengah situasi pandemi Covid-19,
yang oleh Pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional, dan World
Health Organization (WHO) juga menetapkan Covid-19 sebagai
pandemi global?
B.PEMBAHASAN
1.Covid-19 Belum Dapat di Prediksi Kapan Berakhir
1.Covid-19 Belum Dapat di Prediksi Kapan Berakhir
Pandemi Covid-19 di
Indonesia baru dimulai sejak tanggal 2 Maret 2020 seiring dengan
ditemukannya 2 (dua) orang warganegara Indonesia yang positif
terjangkit virus corona. Sedangkan data Menteri Tenaga Kerja menunjukkan
sampai dengan tanggal 20 April 2020, artinya
selama 50 (lima puluh) hari mulai tanggal 2 Maret 2020 sampai dengan tanggal 20
April 2020, pekerja/buruh sudah dirumahkan dan diputus hubungan kerjanya
sebanyak 2.084.593
orang dari 116.370 perusahaan. Sedangkan kapan berakhir pandemi Covid-19 belum
dapat diperkirakan.
“Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) menyatakan angka kasus atau grafik Covid-19 yang terdata saat ini di Indonesia tidak bisa menjadi
patokan kapan wabah ini akan berakhir.” “Pusat Kajian Visi Teliti Saksama (Visi)
memprediksi pandemi COVID-19 di Indonesia baru mereda pada
Juni 2020, …” “Seorang dokter ahli penyakit
menular dari Tiongkok, Zhang Wenhong, memprediksi pandemi ini akan mereda saat
musim gugur tiba, tepatnya pada Oktober 2020.” Tentu, dari penelitian atau kajian para ahli ini dapat
disimpulkan bahwa kapan pandemi Covid-19 berakhir, sampai saat
ini belum dapat diketahui.
Dengan membandingkan jumlah
pekerja/buruh yang dirumahkan dan di PHK selama 50 (lima) hari sebanyak 2.084.593
orang dengan belum adanya kepastian kapan berakhir wabah Covid-19 ini,
maka dapatlah di prediksi bahwa jumlah pekerja/buruh yang dirumahkan dan di-PHK
di waktu yang akan datang, selama pandemi Covid-19, akan bertambah
secara signifikan. Berangkat dari data di atas di prediksi jumlah pekerja/buruh
yang dirumahkan, di-PHK, dan kehilangan pekerjaan di sektor informal,
selama wabah Covid-19 belum tertanggulangi, akan mencapai 5 (lima) sampai dengan 7 (tujuh)
juta orang. Hal itu tidak terelakkan karena pelaku usaha juga berkewajiban
mematuhi peraturan pemerintah pusat dan daerah terkait PSBB. Karenanya,
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera memikirkan untuk membuat
norma tentang syarat-syarat kerja selama masa PSBB.
2.Penetapan Pandemic Covid-19 Sebagai
Bencana Nasional
Beberapa hari terakhir ini, di
media online cukup banyak kita baca pendapat ahli hukum yang
saling berbeda satu sama lain terhadap pertanyaan, apakah penetapan status
pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional berakibat debitur dapat terbebas
dari prestasi yang seharusnya dilaksanakan kepada kreditur. Sebagian berpendapat, ya. Sebagian lagi
berpendapat, tidak. Yang berpendapat, ya, tentu atas pemahaman bahwa penetapan
situasi Covid-19 sebagai bencana nasional dianggap
sebagai force majeur atau overmacht atau keadaan memaksa,
yakni kejadian luar biasa yang membuat orang tidak mampu memenuhi prestasinya
(kewajiban hukum) karena peristiwa yang terjadi berada di luar kemampuannya.
Sedangkan yang berpendapat tidak, tentu atas pemahaman konsep force
majeur tidak bersifat mutlak,
pemberlakuannya harus dipertimbangan dari beberapa unsur. Apalagi konsep force
majeur terbagi 2 (dua), yaitu force majeur absolut
dan force majeur relatif.
Mengutip ANTARANEWS.com, (22
April 2020), “Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan,
Mahfud MD, mengingatkan, status Covid-19 sebagai bencana
nasional tidak bisa langsung dijadikan sebagai dasar untuk membatalkan
kontrak-kontrak perdata, terutama kontrak bisnis. Di dalam hukum perjanjian
memang ada ketentuan bahwa force majeure bisa menjadi alasan
untuk membatalkan kontrak. Akan tetapi, penetapan status Covid-19 sebagai
bencana nonalam tidak bisa langsung dijadikan alasan untuk membatalkan kontrak
dengan alasan force majeure. Mahfud menyebutkan force
majeure terbagi dua, yakni absolut atau kejadian yang secara mutlak
meniadakan kemampuan pihak untuk memenuhi prestasinya yang dijanjikan karena
kejadian luar biasa. Misalnya, musnahnya bangunan yang dijadikan jaminan
kontrak karena bencana alam yang menyebabkannya ambles dan hilang seperti yang
terjadi pada gempa di Palu pada tahun 2018 yang menyebabkan banyak hotel-hotel
mewah tenggelam dan hilang. Padahal, bangunan itu ada dalam jaminan kontrak
untuk meminjam uang ke bank yang bisa dilelang bank. Kemudian, force
majeure relatif, yakni force majeure yang mengubah
keadaan, tetapi masih ada alternatif-alternatif yang dapat disubstitusikan,
bisa diganti, bisa dikompensasi, bisa ditunda, dan sebagainya. Misalnya,
pengantaran barang yang dititipkan maskapai penerbangan, tetapi pesawatnya mengalami
kecelakaan sehingga barang tersebut hilang. Itu
tentu bisa diatur ulang bersama penerbangan, bersama maskapainya, bukan
langsung mengubah perjanjian. Bisa ditunda, nanti dikirim lagi, diurus dengan
Asuransi, dan sebagainya. Artinya, pendapat yang mengatakan penetapan status Covid-19 sebagai
bencana nasional yang berakibat debitur dapat terbebas dari prestasi yang
seharusnya diberikan kepada kreditur sama dengan pelaku usaha (pengusaha) tidak
wajib membayar hak-hak pekerja/buruh dalam situasi Covid-19 ini. Demikianlah Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi
Sukamdani mengatakan, selama pekerja/buruh dirumahkan tidak diberi upah/gaji.
Menurut Haryadi Sukamdani kebijakan itu mengacu pada kejadian yang sama pada
krisis ekonomi tahun 1997-1998. Dan banyak pihak berlindung pada
asas No Work No Pay sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
93 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No.
13/2003”) yang berbunyi: “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak
melakukan pekerjaan.”, tanpa mengaitkannya dengan ketentuan Penjelas Pasal
93 ayat (1) tersebut, yang berbunyi: “Ketentuan ini merupakan asas yang pada
dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahnnya.”.
3.Hak-hak
Normatif Pekerja/Buruh
3.1. Upah selama di rumahkan atau Dicutikan
3.1. Upah selama di rumahkan atau Dicutikan
Pernyataan Hariyadi Sukamdani yang juga
menjabat sebagai Ketua Umum APINDO yang menyatakan, selama pekerja/buruh
dirumahkan tidak diberi upah/gaji, tidak beralasan dan berdasar hukum, apalagi
dengan mencontoh krisis ekonomi 1997-1998. Perlu diingat, masa krisis ekonomi
1998 masih rezim otoriter. Pernyataan sedemikian adalah pernyataan buruk bagi
pelaku usaha yang menjunjung tinggi,
mematuhi norma hukum dan standar moral dan etika bisnis dalam mengelola
hubungan industrial. Banyak pengusaha saat ini tetap membayar upah
pekerja/buruh yang dirumahkan. Mengutip tirto.id, (16 April 2020), misalnya PT. Fast Food Indonesia tetap membayar
upah terhadap 450 orang buruhnya di Gresik,
Surabaya, Malang, Mojokerto, Jombang, dan Sidoarjo. Direktur PT. Fast Food Indonesia
beralasan kebijakan merumahkan ratusan pekerja lantaran dampak dari peraturan
daerah yang tidak memperbolehkan adanya kerumunan massa di dalam pusat
perbelanjaan, dan karyawan tersebut akan bekerja lagi kalau suasana COVID-19
ini dinyatakan oleh pemerintah telah pulih kembali. Memang keputusan PT. Fast Food Indonesia ini masih
dipersoalkan serikat pekerja/serikat buruh tentang persentasinya, yakni upah di atas Rp3 juta akan dipotong 50 persen dan upah di
bawah Rp3 juta akan dipotong 30 persen. Tapi paling tidak kebijakan itu sudah
menunjukkan perbedaan dengan apa yang dinyatakan Hariyadi Sukamdani.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 93 ayat (1) UU No. 13/2003 dan
diperkuat pendapat Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P., tersebut
di atas, sangat beralasan dan berdasar hukum dinyatakan pengusaha tetap
berkewajiban membayar upah pekerja/buruh yang dirumahkan selama masa Covid-19 ini.
Dan harusnya Negara melalui Pemerintah ikut bertanggungjawab untuk membantu
pengusaha Indonesia membayar upah pekerja/buruh selama dirumahkan, sebagaimana
yang dilakukan pemerintah negara asing. Pemerintah Inggris, misalnya membayar
80% upah bagi mereka yang tidak bekerja dalam krisis coronavirus. Demikian juga Pemerintah Irlandia memberi sejumlah
subsidi kepada pengusaha untuk membayar upah buruh yang dirumahkan yang
terdampak Covid-19.
3.2.Pesangon
Hak normatif lain yang
wajib tetap dibayar pengusaha kepada pekerja/buruh yang di PHK adalah pesangon,
yaitu uang pesangon, uang penghargaan masa, dan uang penggantian hak. Hukum
positip di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU No. 13/2003, tidak ada mengatur
ketentuan PHK atas alasan keadaan memaksa (force majeur) an
sich. Ketentuan Pasal 164 ayat (1) yang berbunyi:
“Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama
2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).”,
tidak tepat dijadikan sebagai dasar hukum, karena
perusahaan tidak tutup. Dan jikapun tutup, bukan karena mengalami kerugian
selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Covid-19 sampai tanggal 29
April 2020 ini baru terjadi selama 59 (lima puluh sembilan) hari. Jika
perusahaan terbukti tutup tapi bukan karena mengalami kerugian selama 2 (dua)
tahun berturut-turut maka ketentuan Pasal 164 ayat (3) tepat dijadikan dasar
hukum pemberian pesangon kepada buruh. Pasal 164 ayat (3) berbunyi sebagai
berikut:
“Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”.
Perlu
dipahami bahwa pesangon adalah sejumlah uang yang telah dicadangkan pengusaha
setiap bulan untuk diberikan kepada pekerja/buruh disaat terjadi pemutusan
hubungan kerja. Harus juga dipahami bahwa terjadinya pemutusan hubungan kerja
tidak semata-mata akibat adanya keburukan pekerja/buruh. Karena pekerja/buruh
meninggal atau pensiun, perusahaan tutup atau pailit, pastilah terjadi PHK.
Artinya, pesangon adalah akumulasi tabungan pekerja/buruh setiap bulan yang
dikelola perusahaan.
3.3.Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016
tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
(Permenaker No. 6/2016), pengusaha wajib membayar Tunjangan Hari Raya Keagamaan
(THR) kepada pekerja/buruh. Jika tidak dibayar pengusaha diberi sanksi denda
dan administratif.
Terhadap pekerja/buruh yang
sudah bermasa kerja 1 (satu) tahun berhak mendapat THR minimal sebesar 1 (satu)
bulan upah. Demikian juga pekerja/buruh yang bermasa kerja kurang dari 1 (satu)
tahun tetap berhak mendapat THR secara proporsional. Karena sifatnya wajib
menurut peraturan perundang-undangan, maka ada pandemi Covid-19 atau
tidak pengusaha tetap berkewajiban membayar THR. Apalagi THR pada
hakekatnya adalah gaji ke-13 bulan yang sudah dianggarkan atau dipersiapkan
pengusaha 10 (sepuluh) bulan sebelum PSBB ditetapkan Pemerintah tanggal 31
Maret 2020.
Dalam sistem hubungan kerja
apapapun, baik pekerja/buruh tetap (PKWTT) atau pekerja/buruh kontrak (PKWT)
atau pekerja/buruh harian, atau pekerja/buruh borongan, baik terhadap
pekerja/buruh yang masih melakukan pekerjaan sehari-hari di tempat kerja,
maupun terhadap yang sudah dirumahkan, dan di-PHK tapi perselisihan PHK-nya
belum selesai atau belum ada perdamaian atau putusan Pengadilan Hubungan Industrial
berkekuatan hukum tetap, THR wajib dibayar pengusaha.
4.Kartu Prakerja
Program Kartu Prakerja
yang sudah diluncurkan Pemerintah melalui Komite Cipta Kerja, untuk saat
pandemi Covid-19 sekarang ini, harus ditunda dan dievaluasi
tentang kemanfaatannya dan pelaksanaan teknis dilapangan. Sejauh ini
pekerja/buruh yang ter-PHK di berbagai daerah merasa kebingungan
untuk melakukan pendaftaran. Dan mereka juga tidak tertarik dengan program
pelatihannya. Rata-rata pekerja/buruh yang kehilangan pekerjaan
karena ter-PHK sudah
memiliki kompetensi keterampilan dan banyak yang sudah memiliki sertifikat di
bidangnya. Selain itu, juga soal sistem penerapan pelatihan yang hanya
bersifat online dengan modul-modul dari lembaga pelatihan yang
ditunjuk, patut dikaji ulang.
Dengan anggaran sebesar Rp
20 triliun untuk menyasar sekitar 5,6 juta peserta di tahun 2020, dengan
besaran bantuan pelatihan dan insentif yang diterima oleh masing-masing peserta
sebesar Rp3.550.000, dengan rincian bantuan pelatihan sebesar Rp1 juta dan
insentif paska pelatihan sebesar Rp600 ribu per bulan (untuk 4 bulan), serta
insentif survei kebekerjaan sebesar Rp50 ribu per survei untuk 3 kali survei
atau total Rp150 ribu per peserta, adalah pemborosan terhadap anggaran Negara
(APBN).
Perlu usulan dan mendesak Pemerintah, Program
Kartu Prakerja ditunda sambil dievaluasi sampai dengan pandemi Covid-19 berakhir,
atau tetap dijalankan tapi polanya dirubah atau disesuaikan menjadi pemberian
dana bantuan tunai kepada pekerja/buruh yang di rumahkan, dan kepada
pekerja/buruh yang di-PHK tapi belum menerima hak pesangon.
5.Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Normatif Pekerja/Buruh Yang
Dirumahkan atau Dicutikan dan Diputus Hubungan Kerjanya
Terkait perlindungan
hukum terhadap upah sebagai hak normatif pekerja/buruh selama dirumahkan adalah
tepat dengan merujuk pada ketentuan Penjelasan Pasal 93 ayat (1) UU No. 13/2003 yang
berbunyi: “Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk
semua pekerja/buruh, kecuali pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahnnya.” sebagai penjelasan
dari ketentuan Pasal 93 ayat (1) yang berbunyi: “Upah tidak
dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.” Putusan
Mahkamah Agung Nomor 676 K/Pdt.Sus/2012, tanggal 15 Januari 2013, yang
menghukum pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama dirumahkan, walaupun
hanya sebesar 50% (lima puluh persen), sangat relevan dan kuat
menjadi rujukan dasar hukum pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang
dirumahkan.
Dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan
No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha
Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19, tertanggal 17
Maret 2020, justru membuat buruh dan pengusaha semakin berselisih paham untuk
menafsirkan surat edaran tersebut. Penulis kutip sebagian bunyi surat edaran
tersebut sebagai berikut:
“II. Melaksanakan Pelindungan Pengupahan bagi
Pekerja/Buruh terkait Pandemi COVID-19:
1.Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan
sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait COVID-19 berdasarkan
keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja
paling lama 14 (empat belas) hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan,
maka upahnya dibayarkan secara penuh.
2.Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus
suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan
dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa
karantina/isolasi.
3.Bagi pekerja/buruh
yang tidak masuk kerja karena
sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya
dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
4.Bagi perusahaan yang
melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah
masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga
menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan
mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara
pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh.”
Pada angka II.1
disebut, bagi pekerja yang terpapar ODP terkait COVID-19, pengusaha
hanya berkewajiban membayar upah penuh selama 14 (empat belas) hari. Ketentuan
ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 93 ayat (1) huruh a UU No. 13/2003 yang
berbunyi pada pokoknya, pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh
sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Kemudian angka 3 yang berbunyi:
“Bagi pekerja/buruh
yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan
keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.”, adalah ketentuan yang mengaburkan
hukum, karena tanpa menunjuk ketentuan pasal dari suatu peraturan perundang-undangan.
Padahal Pasal 93 ayat (1) berikut Penjelasannya sudah jelas mengatur hal
itu. Harusnya Menteri Ketenagakerjaan cukup membuat surat edaran yang berisi
sebagaimana isi dalam angka 4 mendorong pengusaha dan pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh untuk melakukan perundingan bipartit sebelum
pengusaha merumahkan atau mencutikan para pekerja/buruh.
Kalangan serikat pekerja/serikat buruh
perlu mendesak Menteri Ketenagakerjaan untuk mencabut surat edaran tersebut dan
menggantinya dengan peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Menteri.
Namun karena dampak Covid-19 bukan saja terhadap pekerja/buruh
tapi termasuk pengusaha, bukan saja tentang upah dan pesangon, Tunjangan Hari
Raya (THR), akan tetapi terkait dengan banyak persoalan lainnya, seperti
insentif kepada pengusaha, pelaksanaan Kartu Prakerja, kesehatan, Serikat
pekerja/serikat buruh perlu mengusulkan dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk
menerbitkan peraturan perundang-undangan, idealnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang Undang (Perppu), untuk mengatur segala hal terkait hak dan
kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha yang terdampak COVID-19.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dibuat Pemerintah, antara
pekerja/buruh dan/atau serikat buruh dengan pengusaha tidak lagi saling
berselisih karena telah ada hukum positip yang berlaku pada saat wabah Covid-19.
Perlu dipikirkan dan dibuat dalam norma hukum, hak-hak normatif berupa upah dan
THR selama dirumahkan dalam masa COVID-19 ini tidak hanya
dibebankan kepada pengusaha. Pemerintah sebagai representasi Negara wajib juga
berkontribusi meringankan beban pengusaha. Pemerintah dapat merealokasi
sebagian anggaran Program Kartu Prakerja sebanyak Rp20 triliun, dan/atau
sebagian dari BPJS Ketenagakerjaan.
C.KESIMPULAN
1.Upah dan Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) 2020
pekerja/buruh selama dirumahkan dalam situasi pandemi COVID-19 wajib
dibayar pengusaha;
2.Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak atas
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pengusaha terhadap buruh dalam situasi
pandemi COVID-19 wajib dibayar pengusaha sesuai
ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3.Pemerintah menunda pelaksanaan Program Kartu
Prakerja sambil dievaluasi sampai dengan pandemi COVID-19 berakhir.
4.Anggaran Program Kartu Prakerja sebesar Rp20
triliun sebagian direalokasikan sebagai insentif Pemerintah kepada
pengusaha membayar upah pekerja/buruh yang dirumahkan selama pandemi COVID-19.
5.Presiden Joko Widodo setelah berkonsultasi dengan DPR menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk
mengatur segala hal yang terkait dampak COVID-19 terhadap
pekerja/buruh dan pengusaha, seperti besaran upah selama dirumahkan, pesangon,
Tunjangan Hari Raya, Kartu Prakerja, kesehatan pekerja/buruh, insentif kepada
pengusaha, dan lain-lain dalam masa pandemi COVID-19.
______
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan. Advokat Spesialis Hubungan Industrial
***