HAK NORMATIF PEKERJA/BURUH DALAM MASA PANDEMI COVID-19

 at May 06, 2020    


Oleh Harris Manalu

A. PENGANTAR
Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) sudah menjadi pandemi global. Dan bukan lagi hanya krisis kesehatan, tapi telah bermutasi dan bertindih dengan krisis ekonomi.
Untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 baik Pemerintah pusat maupun daerah telah melakukan berbagai upaya strategis, antara lain menerapkan kebijakan physical distancingsocial distancing, dan bahkan telah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yang berlaku sejak tanggal 31 Maret 2020. Demikian juga Pemerintah Daerah (Pemda) telah menerbitkan kebijakan publik masing-masing. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, yang berlaku mulai tanggal 10 April 2020.
Akibat kebijakan itu, sebagian pelaku usaha (pengusaha) menerapkan sistem kerja pekerja/buruh dari rumah atau Work From Home (WFH), menutup sebagian atau seluruh operasional usaha, merumahkan pekerja/buruh, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengusaha melakukan pelanggaran hukum jika tidak mematuhi kebijakan dan/atau peraturan yang dibuat Pemerintah. Dampaknya, penghasilan pekerja/buruh, hak-hak normatif pekerja/buruh tentang upah, pesangon, Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) dan hak lainnya menjadi bermasalah. Sementara akses berunding (perundingan bipartit) ditolak pengusaha atas alasan mematuhi kebijakan/peraturan Pemerintah tentang physical distancing atau social distancing atau PSBB.
Data per 24 April 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan (COVID-19) merilis, di Indonesia terdapat kasus positip corona sebanyak 8.211 orang, sembuh 1.002 orang, dan korban meninggal 689 orang. Sementara, mengutip Kompas.com (23/04/2020), Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menyampaikan data per 20 April 2020, terdapat 2.084.593 buruh dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan kena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat terimbas pandemi Covid-19, dengan rincian sektor formal 1.304.777 orang  dirumahkan dari 43.690 perusahaan, yang terkena PHK mencapai 241.431 orang dari 41.236 perusahaan, dan sektor informal kehilangan 538.385 pekerja yang terdampak dari 31.444 perusahaan atau usaha mikro, kecil dan menengah.
Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, maka dalam rangka perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan perusahaan dalam masa pandemi Covid-19, Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada tanggal 17 Maret 2020 menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. Surat edaran tersebut ditujukan kepada para Gubernur di seluruh Indonesia. Permasalahannya, apakah surat edaran tersebut cukup memberi legalitas dan kepastian hukum untuk melindungi hak-hak normatif pekerja/buruh ditengah situasi  pandemi Covid-19, yang oleh Pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional, dan World Health Organization (WHO) juga menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global?

B.PEMBAHASAN
1.Covid-19 Belum Dapat di Prediksi Kapan Berakhir
 Pandemi   Covid-19 di Indonesia baru dimulai sejak tanggal 2 Maret 2020 seiring dengan ditemukannya 2 (dua) orang warganegara Indonesia yang positif terjangkit virus coronaSedangkan data Menteri Tenaga Kerja menunjukkan sampai dengan tanggal 20 April 2020, artinya selama 50 (lima puluh) hari mulai tanggal 2 Maret 2020 sampai dengan tanggal 20 April 2020, pekerja/buruh sudah dirumahkan dan diputus hubungan kerjanya sebanyak 2.084.593 orang dari 116.370 perusahaan. Sedangkan kapan berakhir pandemi Covid-19 belum dapat diperkirakan.
“Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan angka kasus atau grafik Covid-19 yang terdata saat ini di Indonesia tidak bisa menjadi patokan kapan wabah ini akan berakhir.” “Pusat Kajian Visi Teliti Saksama (Visi) memprediksi pandemi COVID-19 di Indonesia baru mereda pada Juni 2020, …” Seorang dokter ahli penyakit menular dari Tiongkok, Zhang Wenhong, memprediksi pandemi ini akan mereda saat musim gugur tiba, tepatnya pada Oktober 2020.” Tentu, dari penelitian atau kajian para ahli ini dapat disimpulkan bahwa kapan pandemi Covid-19 berakhir, sampai saat ini belum dapat diketahui.
Dengan membandingkan jumlah pekerja/buruh yang dirumahkan dan di PHK selama 50 (lima) hari sebanyak 2.084.593 orang dengan belum adanya kepastian kapan berakhir wabah Covid-19 ini, maka dapatlah di prediksi bahwa jumlah pekerja/buruh yang dirumahkan dan di-PHK di waktu yang akan datang, selama pandemi Covid-19, akan bertambah secara signifikan. Berangkat dari data di atas di prediksi jumlah pekerja/buruh yang dirumahkan, di-PHK, dan kehilangan pekerjaan di sektor informal, selama wabah Covid-19 belum tertanggulangi,  akan mencapai 5 (lima) sampai dengan 7 (tujuh) juta orang. Hal itu tidak terelakkan karena pelaku usaha juga berkewajiban mematuhi peraturan pemerintah pusat dan daerah terkait PSBB. Karenanya, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera memikirkan untuk membuat norma tentang syarat-syarat kerja selama masa PSBB.

2.Penetapan Pandemic Covid-19  Sebagai Bencana Nasional
Beberapa hari terakhir ini, di media online cukup banyak kita baca pendapat ahli hukum yang saling berbeda satu sama lain terhadap pertanyaan, apakah penetapan status pandemi Covid-19  sebagai bencana nasional berakibat debitur dapat terbebas dari prestasi yang seharusnya dilaksanakan kepada kreditur. Sebagian berpendapat, ya. Sebagian lagi berpendapat, tidak. Yang berpendapat, ya, tentu atas pemahaman bahwa penetapan situasi Covid-19  sebagai bencana  nasional dianggap sebagai force majeur atau  overmacht atau keadaan memaksa, yakni kejadian luar biasa yang membuat orang tidak mampu memenuhi prestasinya (kewajiban hukum) karena peristiwa yang terjadi berada di luar kemampuannya. Sedangkan yang berpendapat tidak, tentu atas pemahaman konsep force majeur tidak bersifat mutlak, pemberlakuannya harus dipertimbangan dari beberapa unsur. Apalagi konsep force majeur terbagi 2 (dua), yaitu force majeur absolut dan force majeur relatif.

Mengutip ANTARANEWS.com, (22 April 2020), “Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengingatkan, status Covid-19 sebagai bencana nasional tidak bisa langsung dijadikan sebagai dasar untuk membatalkan kontrak-kontrak perdata, terutama kontrak bisnis. Di dalam hukum perjanjian memang ada ketentuan bahwa force majeure bisa menjadi alasan untuk membatalkan kontrak. Akan tetapi, penetapan status Covid-19 sebagai bencana nonalam tidak bisa langsung dijadikan alasan untuk membatalkan kontrak dengan alasan force majeure. Mahfud menyebutkan force majeure terbagi dua, yakni absolut atau kejadian yang secara mutlak meniadakan kemampuan pihak untuk memenuhi prestasinya yang dijanjikan karena kejadian luar biasa. Misalnya, musnahnya bangunan yang dijadikan jaminan kontrak karena bencana alam yang menyebabkannya ambles dan hilang seperti yang terjadi pada gempa di Palu pada tahun 2018 yang menyebabkan banyak hotel-hotel mewah tenggelam dan hilang. Padahal, bangunan itu ada dalam jaminan kontrak untuk meminjam uang ke bank yang bisa dilelang bank. Kemudian, force majeure relatif, yakni force majeure yang mengubah keadaan, tetapi masih ada alternatif-alternatif yang dapat disubstitusikan, bisa diganti, bisa dikompensasi, bisa ditunda, dan sebagainya. Misalnya, pengantaran barang yang dititipkan maskapai penerbangan, tetapi pesawatnya mengalami kecelakaan sehingga barang tersebut hilang. Itu tentu bisa diatur ulang bersama penerbangan, bersama maskapainya, bukan langsung mengubah perjanjian. Bisa ditunda, nanti dikirim lagi, diurus dengan Asuransi, dan sebagainya. Artinya, pendapat yang mengatakan penetapan status Covid-19 sebagai bencana nasional yang berakibat debitur dapat terbebas dari prestasi yang seharusnya diberikan kepada kreditur sama dengan pelaku usaha (pengusaha) tidak wajib membayar hak-hak pekerja/buruh dalam situasi Covid-19 ini. Demikianlah Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, selama pekerja/buruh dirumahkan tidak diberi upah/gaji. Menurut Haryadi Sukamdani kebijakan itu mengacu pada kejadian yang sama pada krisis ekonomi tahun 1997-1998. Dan banyak pihak berlindung pada asas No Work No Pay sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”) yang berbunyi: “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.”, tanpa mengaitkannya dengan ketentuan Penjelas Pasal 93 ayat (1) tersebut, yang berbunyi: “Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahnnya.”.

3.Hak-hak Normatif Pekerja/Buruh
3.1. Upah selama di rumahkan atau Dicutikan
   Pernyataan Hariyadi Sukamdani yang juga menjabat sebagai Ketua Umum APINDO yang menyatakan, selama pekerja/buruh dirumahkan tidak diberi upah/gaji, tidak beralasan dan berdasar hukum, apalagi dengan mencontoh krisis ekonomi 1997-1998. Perlu diingat, masa krisis ekonomi 1998 masih rezim otoriter. Pernyataan sedemikian adalah pernyataan buruk bagi pelaku usaha  yang menjunjung tinggi, mematuhi norma hukum dan standar moral dan etika bisnis dalam mengelola hubungan industrial. Banyak pengusaha saat ini tetap membayar upah pekerja/buruh yang dirumahkan. Mengutip tirto.id(16 April 2020), misalnya PT. Fast Food Indonesia tetap membayar upah terhadap 450 orang buruhnya di Gresik, Surabaya, Malang, Mojokerto, Jombang, dan SidoarjoDirektur PT. Fast Food Indonesia beralasan kebijakan merumahkan ratusan pekerja lantaran dampak dari peraturan daerah yang tidak memperbolehkan adanya kerumunan massa di dalam pusat perbelanjaan, dan karyawan tersebut akan bekerja lagi kalau suasana COVID-19 ini dinyatakan oleh pemerintah telah pulih kembaliMemang keputusan PT. Fast Food Indonesia ini masih dipersoalkan serikat pekerja/serikat buruh tentang persentasinya, yakni upah di atas Rp3 juta akan dipotong 50 persen dan upah di bawah Rp3 juta akan dipotong 30 persen. Tapi paling tidak kebijakan itu sudah menunjukkan perbedaan dengan apa yang dinyatakan Hariyadi Sukamdani.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 93 ayat (1) UU No. 13/2003 dan diperkuat pendapat Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P., tersebut di atas, sangat beralasan dan berdasar hukum dinyatakan pengusaha tetap berkewajiban membayar upah pekerja/buruh yang dirumahkan selama masa Covid-19 ini. Dan harusnya Negara melalui Pemerintah ikut bertanggungjawab untuk membantu pengusaha Indonesia membayar upah pekerja/buruh selama dirumahkan, sebagaimana yang dilakukan pemerintah negara asing. Pemerintah Inggris, misalnya membayar 80% upah bagi mereka yang tidak bekerja dalam krisis coronavirus. Demikian juga Pemerintah Irlandia memberi sejumlah subsidi kepada pengusaha untuk membayar upah buruh yang dirumahkan yang terdampak Covid-19.

3.2.Pesangon
Hak normatif lain yang wajib tetap dibayar pengusaha kepada pekerja/buruh yang di PHK adalah pesangon, yaitu uang pesangon, uang penghargaan masa, dan uang penggantian hak. Hukum positip di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU No. 13/2003, tidak ada mengatur ketentuan PHK atas alasan keadaan memaksa (force majeur) an sich.  Ketentuan Pasal 164 ayat (1) yang berbunyi:
“Pengusaha     dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”,
tidak tepat dijadikan sebagai dasar hukum, karena perusahaan tidak tutup. Dan jikapun tutup, bukan karena mengalami kerugian selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Covid-19 sampai tanggal 29 April 2020 ini baru terjadi selama 59 (lima puluh sembilan) hari. Jika perusahaan terbukti tutup tapi bukan karena mengalami kerugian selama 2 (dua) tahun berturut-turut maka ketentuan Pasal 164 ayat (3) tepat dijadikan dasar hukum pemberian pesangon kepada buruh. Pasal 164 ayat (3) berbunyi sebagai berikut:
“Pengusaha     dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”.
Perlu dipahami bahwa pesangon adalah sejumlah uang yang telah dicadangkan pengusaha setiap bulan untuk diberikan kepada pekerja/buruh disaat terjadi pemutusan hubungan kerja. Harus juga dipahami bahwa terjadinya pemutusan hubungan kerja tidak semata-mata akibat adanya keburukan pekerja/buruh. Karena pekerja/buruh meninggal atau pensiun, perusahaan tutup atau pailit, pastilah terjadi PHK. Artinya, pesangon adalah akumulasi tabungan pekerja/buruh setiap bulan yang dikelola perusahaan.

3.3.Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (Permenaker No. 6/2016), pengusaha wajib membayar Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) kepada pekerja/buruh. Jika tidak dibayar pengusaha diberi sanksi denda dan administratif.
Terhadap pekerja/buruh yang sudah bermasa kerja 1 (satu) tahun berhak mendapat THR minimal sebesar 1 (satu) bulan upah. Demikian juga pekerja/buruh yang bermasa kerja kurang dari 1 (satu) tahun tetap berhak mendapat THR secara proporsional. Karena sifatnya wajib menurut peraturan perundang-undangan, maka ada pandemi Covid-19 atau tidak pengusaha tetap berkewajiban membayar THR. Apalagi  THR pada hakekatnya adalah gaji ke-13 bulan yang sudah dianggarkan atau dipersiapkan pengusaha 10 (sepuluh) bulan sebelum PSBB ditetapkan Pemerintah tanggal 31 Maret 2020.
Dalam sistem hubungan kerja apapapun, baik pekerja/buruh tetap (PKWTT) atau pekerja/buruh kontrak (PKWT) atau pekerja/buruh harian, atau pekerja/buruh borongan, baik terhadap pekerja/buruh yang masih melakukan pekerjaan sehari-hari di tempat kerja, maupun terhadap yang sudah dirumahkan, dan di-PHK tapi perselisihan PHK-nya belum selesai atau belum ada perdamaian atau putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkekuatan hukum tetap, THR wajib dibayar pengusaha.

4.Kartu Prakerja
Program Kartu Prakerja yang sudah diluncurkan Pemerintah melalui Komite Cipta Kerja, untuk saat pandemi Covid-19 sekarang ini, harus ditunda dan dievaluasi tentang kemanfaatannya dan pelaksanaan teknis dilapangan. Sejauh ini pekerja/buruh  yang ter-PHK di berbagai daerah merasa kebingungan untuk melakukan pendaftaran. Dan mereka juga tidak tertarik dengan program pelatihannya. Rata-rata pekerja/buruh yang  kehilangan pekerjaan karena ter-PHK sudah memiliki kompetensi keterampilan dan banyak yang sudah memiliki sertifikat di bidangnya. Selain itu, juga soal sistem penerapan pelatihan yang hanya bersifat online dengan modul-modul dari lembaga pelatihan yang ditunjuk, patut dikaji ulang.
Dengan anggaran sebesar Rp 20 triliun untuk menyasar sekitar 5,6 juta peserta di tahun 2020, dengan besaran bantuan pelatihan dan insentif yang diterima oleh masing-masing peserta sebesar Rp3.550.000, dengan rincian bantuan pelatihan sebesar Rp1 juta dan insentif paska pelatihan sebesar Rp600 ribu per bulan (untuk 4 bulan), serta insentif survei kebekerjaan sebesar Rp50 ribu per survei untuk 3 kali survei atau total Rp150 ribu per peserta, adalah pemborosan terhadap anggaran Negara (APBN).
Perlu usulan dan mendesak Pemerintah, Program Kartu Prakerja ditunda sambil dievaluasi sampai dengan pandemi Covid-19 berakhir, atau tetap dijalankan tapi polanya dirubah atau disesuaikan menjadi pemberian dana bantuan tunai kepada pekerja/buruh yang di rumahkan, dan kepada pekerja/buruh yang di-PHK tapi belum menerima hak pesangon.

5.Perlindungan    Hukum   Terhadap Hak-hak Normatif Pekerja/Buruh Yang Dirumahkan atau Dicutikan dan Diputus Hubungan Kerjanya
Terkait perlindungan hukum terhadap upah sebagai hak normatif pekerja/buruh selama dirumahkan adalah tepat dengan merujuk pada ketentuan Penjelasan Pasal 93 ayat (1) UU No. 13/2003 yang berbunyi: “Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahnnya.” sebagai penjelasan dari ketentuan Pasal 93 ayat (1)  yang berbunyi: “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.” Putusan Mahkamah Agung Nomor 676 K/Pdt.Sus/2012, tanggal 15 Januari 2013, yang menghukum pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama dirumahkan, walaupun hanya sebesar 50% (lima puluh persen),  sangat relevan dan kuat menjadi rujukan dasar hukum pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang dirumahkan.
Dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19, tertanggal 17 Maret 2020, justru membuat buruh dan pengusaha semakin berselisih paham untuk menafsirkan surat edaran tersebut. Penulis kutip sebagian bunyi surat edaran tersebut sebagai berikut:
“II.  Melaksanakan   Pelindungan Pengupahan bagi Pekerja/Buruh terkait Pandemi COVID-19:
1.Bagi   pekerja/buruh   yang  dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait COVID-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 (empat belas) hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
2.Bagi    pekerja/buruh    yang   dikategorikan  kasus suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi.
3.Bagi    pekerja/buruh    yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
4.Bagi   perusahaan   yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.”
Pada angka II.1 disebut, bagi pekerja yang terpapar ODP terkait COVID-19, pengusaha hanya berkewajiban membayar upah penuh selama 14 (empat belas) hari. Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 93 ayat (1) huruh a UU No. 13/2003 yang berbunyi pada pokoknya, pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Kemudian angka 3 yang berbunyi: “Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.”, adalah ketentuan yang mengaburkan hukum, karena tanpa menunjuk ketentuan pasal dari suatu peraturan perundang-undangan. Padahal Pasal 93 ayat (1) berikut Penjelasannya sudah jelas mengatur hal itu. Harusnya Menteri Ketenagakerjaan cukup membuat surat edaran yang berisi sebagaimana isi dalam angka 4 mendorong pengusaha dan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh untuk melakukan perundingan bipartit sebelum pengusaha merumahkan atau mencutikan para pekerja/buruh.
Kalangan serikat pekerja/serikat buruh perlu mendesak Menteri Ketenagakerjaan untuk mencabut surat edaran tersebut dan menggantinya dengan peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Menteri. Namun karena dampak Covid-19 bukan saja terhadap pekerja/buruh tapi termasuk pengusaha, bukan saja tentang upah dan pesangon, Tunjangan Hari Raya (THR), akan tetapi terkait dengan banyak persoalan lainnya, seperti insentif kepada pengusaha, pelaksanaan Kartu Prakerja, kesehatan, Serikat pekerja/serikat buruh perlu mengusulkan dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan, idealnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu), untuk mengatur segala hal terkait hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha yang terdampak COVID-19. Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dibuat Pemerintah, antara pekerja/buruh dan/atau serikat buruh dengan pengusaha tidak lagi saling berselisih karena telah ada hukum positip yang berlaku pada saat wabah Covid-19. Perlu dipikirkan dan dibuat dalam norma hukum, hak-hak normatif berupa upah dan THR selama dirumahkan dalam masa COVID-19 ini tidak hanya dibebankan kepada pengusaha. Pemerintah sebagai representasi Negara wajib juga berkontribusi meringankan beban pengusaha. Pemerintah dapat merealokasi sebagian anggaran Program Kartu Prakerja sebanyak Rp20 triliun, dan/atau sebagian dari BPJS Ketenagakerjaan.

C.KESIMPULAN
1.Upah  dan  Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) 2020 pekerja/buruh selama dirumahkan dalam situasi pandemi COVID-19 wajib dibayar pengusaha;
2.Uang pesangon, uang  penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak atas pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pengusaha terhadap buruh dalam situasi pandemi COVID-19 wajib dibayar pengusaha sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3.Pemerintah  menunda pelaksanaan Program Kartu Prakerja sambil dievaluasi sampai dengan pandemi COVID-19 berakhir.
4.Anggaran   Program  Kartu   Prakerja sebesar Rp20 triliun sebagian direalokasikan sebagai insentif Pemerintah kepada pengusaha membayar upah pekerja/buruh yang dirumahkan selama pandemi COVID-19.
5.Presiden   Joko Widodo setelah berkonsultasi dengan DPR menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk mengatur segala hal yang terkait dampak COVID-19 terhadap pekerja/buruh dan pengusaha, seperti besaran upah selama dirumahkan, pesangon, Tunjangan Hari Raya, Kartu Prakerja, kesehatan pekerja/buruh, insentif kepada pengusaha, dan lain-lain dalam masa pandemi COVID-19.
______
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan. Advokat Spesialis Hubungan Industrial

***