Sebagaimana kita ketahui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI atau UU No. 2/2004) mengatur 2 (dua) jenis pemeriksaan gugatan atau pemeriksaan perkara perselisihan hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), yaitu:
- Pemeriksaan dengan acara biasa; dan
- Pemeriksaan dengan acara cepat.
Pemeriksaan acara biasa adalah pemeriksaan perkara dengan menjalankan seluruh proses atau tahapan persidangan perkara yang dimulai dari sidang pembacaan gugatan, sidang jawaban, sidang replik, sidang duplik, sidang pengajuan alat bukti penggugat dan tergugat (surat-surat/tulisan dan/atau saksi atau ahli), sidang kesimpulan, dan terakhir sidang pengucapan atau pembacaan putusan. Jadi ada 7 (tujuh) mata acara.
Sedangkan acara cepat adalah pemeriksaan perkara perselisihan hubungan industrial tanpa menjalankan seluruh proses atau tahapan persidangan seperti acara biasa. Dengan acara cepat cukup menjalankan 4 proses, yaitu sidang pembacaan gugatan dari penggugat, sidang pembacaan jawaban dari tergugat, lalu sidang pembuktian (surat-surat/tulisan dan/atau saksi atau ahli), dan terakhir sidang pembacaan putusan oleh Majelis Hakim. Replik, duplik, dan apalagi kesimpulan ditiadakan.
- Ada alasan kepentingan mendesak; dan
- Penggugat mengajukan surat permohonan kepada Ketua PHI agar perkara diperiksa dengan acara cepat.
UU PPHI tidak mengatur atau tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan alasan kepentingan mendesak. Namun dalam Buku Petunjuk Pelaksanaan UU No. 2/2004 yang dikeluarkan Mahkamah Agung tahun 2006, disebut bahwa yang dimaksud dengan kepentingan mendesak dalam Pasal 98 ayat (1) UU No. 2/2004 antara lain: "PHK massal, terjadi huru hara yang mengganggu kepentingan produksi, keamanan dan ketertiban umum.".
Berpedoman pada ketentuan Pasal 1 angka 5 Kepmenaker 150/2000 (kalaupun sudah tidak berlaku) disebut, "PHK massal adalah PHK terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan, atau terjadi rentetan Pemutusan Hubungan Kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.". Jika terjadi PHK terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja dalam 1 perusahaan, baik serentak dalam hari yang sama maupun tidak serentak dalam 1 (satu) bulan, maka menurut Kempenaker No. 150/2000 PHK massal sudah terjadi.
UU No. 2/2004 tidak mengatur berapa lama proses persidangan dengan acara cepat, mulai pendaftaran gugatan sampai dengan pengucapan atau pembacaan putusan. Yang diatur adalah mulai pembacaan gugatan sampai dengan pembuktian selesai, yaitu selama 14 hari kerja. Pasal 99 ayat (2) menyebut seperti ini: "Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari kerja."
- sejak tanggal pendaftaran gugatan sampai dengan tanggal sidang pembacaan gugatan selama 14 hari kerja; kemudian
- sejak tanggal pembacaan gugatan sampai dengan selesai pemeriksaan bukti-bukti seperti pengajuan alat bukti surat, saksi dan ahli, selama 14 hari kerja [sebagaimana disebut Pasal 99 ayat (2)]; dan
- sejak selesai pemeriksaan bukti-bukti sampai dengan pembacaan putusan selama 7 hari kerja.
Pertanyaannya adalah mampu tidak para pihak, pekerja maupun pengusaha menjalankan acara cepat ini? Dalam praktek, pemeriksaan dengan acara cepat sangat sulit dijalankan para pihak. Karena membuat jawaban, mengajukan bukti-bukti surat, menghadirkan saksi-saksi dan/atau ahli, bukanlah pekerjaan mudah. Para pihak, baik penggugat maupun tergugat tidak siap bersidang 2 (dua) kali seminggu dengan alasan banyak hal yang harus dipersiapkan untuk membuat jawaban dan bukti-bukti.
Sekitar tahun 2007 di PHI Bandung pemeriksaan acara cepat yang telah disetujui/ditetapkan Ketua PHI pada Pengadilan Negeri Bandung terpaksa "dibatalkan" karena dalam perjalanannya para pihak tidak siap bersidang sebanyak 2 kali seminggu. Mempersiapkan jawaban, bukti-bukti surat, dan saksi-saksi hanya dalam jangka waktu selama 3 hari sangat sulit itu. Membuat jawaban atas gugatan PHK massal misalnya 100 (seratus) orang pekerja hanya selama 3 Tiga) hari, dan efektif hanya 2 (dua) hari, akan berakibat jawaban akan kurang sempurna. Butuh membuat konsep atau draf, diskusi dan penjilidan. Belum lagi mempersiapkan alat bukti surat bagi 100 (seratus) orang pekerja, dan mempersiapkan saksi.
Kalau 100 (seratus) orang pihak pekerja tentu bukti suratnya dapat mencapai minimal 200 (dua ratus), yaitu, P-1 s/d P-200 (jika penggugat) atau T-1 s.d. T-200 (jika tergugat), kita sebut saja misalnya bukti surat perjanjian kerja dan slip upah masing-masing pekerja.
Berdasarkan hal di atas, kalau terjadi PHK massal, dan penggugat siap dalam dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari mempersiapkan alat bukti yang tentunya sangat banyak dan juga sudah mempersiapkan saksi sejak awal, serta siap bersidang 2 (dua) kali seminggu, ajukanlah permohonan pemeriksaan dengan acara cepat.
Namun, disarankan kalau ada instrumen hukum acara dengan acara cepat cukuplah dengan acara pemeriksaan biasa. Rata-rata persidangan di PHI tingkat pertama atau Pengadilan Negeri sejauh ini sudah bejalan dengan baik. Justru yang menjadi masalah selama ini adalah di proses kasasi dalam 2 (dua) tahap, yaitu:
- Tahap mulai pengajuan memori kasasi di Kepaniteraan PHI sampai dengan diterimanya berkas permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung (MA); dan
- Tahap setelah Majelis Hakim MA memutus perkara kita sampai dengan pengiriman salinan putusan ke PHI pengaju atau PHI pemutus gugatan.
Di 2 (dua) tahap ini banyak pencari keadilan merasa kesal karena berkas kasasi lama dikirim PHI ke MA. Dan panitera pengganti MA dan bagian Administrasinya lama mengirim putusan ke PHI pengaju. Padahal sudah terbaca di web MA (direktori putusan) bahwa perkara sudah diputus tapi sampai 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan bahkan bertahun-tahun putusan tidak dikirim ke PHI pengaju atau PHI yang memutus gugatan. Masyarakat pencari keadilan berharap ada perbaikan kinerja aparat pengadilan di 2 (dua) tahap itu. Sehingga pencari keadilan benar-benar mendapat kepastian hukum, keadilan dan manfaat daripada putusan itu.
Oleh Harris Manalu, S.H.
Advokat