Isi Tulisan:
Pengantar
Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit
Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi atau Konsiliasi atau Arbitrase
- Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi
- Penyelesaian Perselisihan Melalui Konsiliasi
- Penyelesaian Perselisihan Melalui Arbitrase
Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri
- Hukum Acara Yang Digunakan
- Pendaftaran Gugatan
- Panggilan Sidang
- Sidang Pertama
- Sidang Kedua
- Sidang Ketiga
- Sidang Keempat
- Sidang Kelima
- Sidang Keenam
- Sidang Ketujuh
- Sidang Kedelapan
- Sidang Kesembilan
- Sidang Kesepuluh
- Sidang Kesebelas
- Sidang Keduabelas
- Sidang Ketigabelas
Penyelesaian Perselisihan Melalui Kasasi ke Mahkamah Agung
Pengantar
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2/2004) yang resmi beroperasi sejak tanggal 1 April 2006, sistem atau tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau ketenagakerjaan di Indonesia dilaksanakan melalui mekanisme, pertama, perundingan bipartit; kedua, perundingan tripartit dengan memilih salah satu diantara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase; ketiga, persidangan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; keempat, kasasi ke Mahkamah Agung.
Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit
Ini langkah pertama. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Bipartit adalah wajib. Salah satu pihak yang merasa dirugikan, pekerja/buruh atau pengusaha, menyurati pihak yang dirasa merugikannya mohon berunding bipartit atas perselisihan hubungan industrial yang terjadi. Misalnya pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) maka pekerja/buruh menyurati pengusaha. Sebaliknya, pekerja/buruh melakukan kesalahan maka pengusaha menyurati pekerja/buruh. Waktu penyelesaian melalui perundingan bipartit diberi waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja. Ini kalau terjadi perundingan.
Jika perundingan tidak terlaksana misalnya pihak yang diminta berunding tidak bersedia atau menolak berunding padahal sudah 2 (dua) kali disurati secara patut, misalnya surat pertama diterima tanggal 5 Januari 2009 minta berunding tanggal 12 Januari 2019 (tidak ditanggapi) dan kemudian surat kedua diterima tanggal 13 Januari 2019 minta berunding tanggal 20 Januari 2019 (juga tidak ditanggapi), fakta demikian tidak harus 30 (tiga puluh) hari kerja tapi hanya 15 (lima belas hari) sudah memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke Disnaker Kota/Kemnaker.
Jika terjadi perundingan bipartit wajib dibuat Risalah. Risalah dibuat 2 (dua) rangkap memuat nama lengkap dan alamat para pihak, tanggal dan tempat perundingan, pokok masalah atau alasan perselisihan, pokok/inti pendapat pihak pekerja/buruh dan pengusaha, kesimpulan atau hasil perundingan, dan tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Apabila perundingan bipartit mencapai kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani oleh para pihak. Lalu PB didaftarkan oleh pihak pekerja/buruh dan pengusaha ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pendaftaran ini mempunyai nilai eksekutorial, manakala salah satu pihak ingkar.
Isi PB harus konkrit, tidak abstrak, tidak multi tafsir. Misalnya dalam PB jangan ditulis dengan kalimat seperti berikut: “Pengusaha akan mengangkat seluruh pekerja/buruh berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi pekerja/buruh berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dalam waktu segera secara bertahap”. Kapan segeranya? Berapa orang setiap tahap? Atau dengan kalimat sebagai berikut: “Pengusaha akan membayar hak-hak pekerja/buruh berupa uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003". Upahnya berapa? Masa kerjanya berapa tahun? Ini tidak jelas. Pengadilan Hubungan Industrial tidak dapat mengeksekusi perjanjian seperti itu karena tidak diketahui nominal yang hendak dieksekusi. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) akan meminta pemohon eksekusi untuk mengajukan gugatan ke PHI untuk menetapkan nominal hak-hak pekerja.
Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi atau Konsiliasi atau Arbitrase
Apabila penyelesaian melalui bipartit gagal maka salah satu pihak atau para pihak mencatatkan atau mendaftarkan perselisihan ke instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan atau Disnaker Kabupaten/Kota, atau Disnaker Propinsi, atau Kemnaker melalui surat yang berjudul Pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial dengan melampirkan Risalah atau surat-surat/dokumen sebagai bukti telah dilakukan upaya permohonan perundingan bipartit. Atas surat pencatatan itu Kepala Disnaker atau pejabat pada Kemnaker akan memanggil para pihak untuk dilakukan klarifikasi atas perselisihan yang dicatatkan atau yang dimohonkan untuk penyelesaian sekaligus ditawarkan kepada para pihak apakah perselisihan itu diselesaikan melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase.
Sepanjang pengetahuan penulis belum ada perselisihan hubungan industrial di Indonesia diselesaikan melalui lembaga dan mekanisme konsiliasi ataupun arbitrase. Seluruh perselisihan hubungan industrial yang terjadi sejak tanggal 1 April 2006 sampai sekarang, 1 September 2021, selalu diselesaikan melalui lembaga dan mekanisme mediasi.
Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri (Ketenagakerjaan) untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Kepala Disnaker/Kemnaker melimpahkan perselisihan kepada Mediator, Mediator memanggil para pihak yang berselisih untuk datang menghadiri sidang mediasi pertama. Sidang mediasi dilakukan 2 (dua) kali. Namun ada juga 3 (tiga) kali atau beberapa kali. Dilakukan beberapa kali atas persetujuan para pihak yang mungkin dalam sidang mediasi itu terdapat kemungkinan ke arah perdamaian.
Apabila tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan atau terjadi perdamaian para pihak, maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan disaksikan Mediator. Selanjutnya PB segera didaftarkan di PHI untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran sebagai akta yang mempunyai nilai eksekutorial.
Dalam hal tidak terjadi perdamaian maka Mediator mengeluarkan Anjuran. Dan dalam hal para pihak menerima atau menyetujui Anjuran maka dibuat PB lalu didaftarkan di PHI. Mekanisme dan nilainya sama dengan PB yang dibuat dan didaftarkan di PHI, seperti PB yang dibuat sebelum ada Anjuran.
Dalam hal para pihak gagal melakukan perdamaian pada masa sidang mediasi ataupun pasca Anjuran dikeluarkan Mediator maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke PHI dengan melampirkan Anjuran yang dikeluarkan Mediator. Anjuran ini dikeluarkan setelah salah satu pihak atau para pihak menolak Anjuran. Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XIII/2015, tanggal 29 September 2015 maka Anjuran dapat dijadikan sebagai lampiran gugatan. Karena menurut Mahkamah Konstitusi Anjuran adalah sama dengan Risalah. Gugatan yang tidak dilampiri dengan Anjuran/Risalah maka gugatan akan dinyatakan tidak memenuhi syarat formil yang berakibat gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard).
Proses mediasi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak Mediator menerima pelimpahan dari Kepala Disnaker/pejabat Kemnaker (Pasal 15 UU No. 2/2004).
Penyelesaian Perselisihan Melalui Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi adalah sama dengan penyelesaian melalui lembaga dan mekanisme mediasi. Bedanya adalah status pihak yang menangani, kewenangannya atas jenis perselisihan, dan penunjukan siapa yang menangani.
Status pihak yang menangani konsiliasi bukan pegawai negeri sipil yang disebut konsiliator, sedangkan mediasi ditangani pegawai negeri sipil yang bertugas di setiap kantor ketenagakerjaan yang disebut mediator. Konsiliator hanya berwenang menangani 3 (tiga) jenis perselisihan yaitu, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Sedangkan mediator berwenang menangani 4 (empat) jenis perselisihan hubungan industrial yaitu, perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Kemudian, mediator yang menangani perkara ditunjuk Kepala Disnaker/Kemnaker, sedangkan konsiliator ditunjuk atau dipilih oleh para pihak dengan cara bersepakat.
Proses konsiliasi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak Konsiliator menerima permintaan penyelesaian perselisihan (Pasal 25 UU No. 2/2004).
Tonton juga YouTube: 5 Tahap Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Penyelesaian Perselisihan Melalui Arbitrase
Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan diluar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Arbiter adalah seorang atau 3 (tiga) orang yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Dengan demikian Arbiter hanya berwenang menangani 2 (dua) jenis perselisihan yaitu, perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat dalam satu perusahaan.
Apabila kedua belah pihak, pekerja/buruh dan pengusaha, sepakat atau setuju berdasarkan perjanjian penunjukan Arbiter bahwa perselisihan hubungan industrial diantara mereka ditangani melalui arbiter 1 (satu) atau 3 (tiga) orang maka Kepala Disnaker/pejabat Kemnaker yang berwenang akan melimpahkan perselisihan dimaksud kepada arbiter yang disepakati para pihak.
Pertanyaannya, mungkinkah para pihak dapat bersepakat menunjuk satu orang arbiter, sedangkan diantara para pihak sudah terjadi perselisihan atau bahkan saling curiga.
Dalam perjanjian penunjukan arbiter wajib dimuat antara lain biaya arbitrase dan honorarium arbiter.
Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya [Pasal 43 ayat (2) UU No. 2/2004]. Penyelesaian perselisihan diawali dengan upaya perdamaian. Apabila tercapai perdamaian maka arbiter membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan arbiter. Akta Perdamaian didaftarkan di PHI di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. Pendaftaran Akta Perdamaian di PHI bernilai eksekutorial.
Apabila upaya perdamaian gagal maka arbiter melanjutkan persidangan dengan memeriksa data-data, dokumen, saksi, ahli dan sampai mengeluarkan putusannya. Putusan arbiter atau majelis arbiter mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak dan merupakan putusan yang bersifat akhit dan tetap. Putusan arbiter didaftarkan di PHI. Pendaftaran itu bernilai eksekutorial.
Arbiter menyelesaikan peselisihan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatangan surat perjanjian penunjukan arbiter [Pasal 40 ayat (1) UU No. 2/2004]. Waktu dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja asalkan disepakati kedua belah pihak [Pasal 40 ayat (3) UU No. 2/2004].
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No. 2/2004, terhadap putusan arbiter, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan itu, apabila putusan itu diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
- surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
- setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
- putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
- putusan melampaui kekuasaan arbiter; atau
- putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan putusan arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri
Hukum Acara Yang di Pergunakan
Pasal 57 UU No. 2/2004 menyatakan: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.”
Oleh karena itu untuk memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap suatu perselisihan hubungan industrial yaitu, perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, membutuhkan hukum acara yang cukup/lengkap. Sedangkan hukum acara yang diatur dalam UU No. 2/2004 sangat terbatas, tidak cukup mengatur bagaimana memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap suatu perselisihan hubungan industrial seperti, bagaimana formulasi suatu gugatan yang memenuhi syarat formil, bagaimana meletakkan dan/atau mengeksekusi sita jaminan, bagaimana mengabulkan atau menolak tuntutan ganti ganti rugi dan uang paksa (dwangsom), bagaimana mengajukan perlawan (verzet) atas putusan verstek, dan banyak hal lainnya.
Oleh karena UU No. 2/2004 tidak cukup mengatur maka sesuai dengan ketentuan Pasal 57 untuk memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap suatu perkara perselisihan hubungan industrial, dalam praktek majelis hakim menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang Udang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, Herzien Indonesis Reglement (HIR) yang berlaku untuk Jawa dan Madura, Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura, serta Reglement of de Rechtsvordering (Rv) sebagai hukum acara perdata yang berlaku bagi orang Eropa dan Timur Asing yang berada di Indonesia.
Apabila penyelesaian perselisihan ditingkat mediasi atau konsiliasi gagal atau tidak tercapai perdamaian maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang se-Provinsi dengan domisili atau tempat pekerja/buruh melakukan pekerjaannya.
Surat gugatan wajib dilampiri dengan Risalah atau Anjuran yang dikeluarkan oleh mediator atau konsiliator, serta surat kuasa khusus yang memakai jasa kuasa.
Gugatan yang bernilai dibawah Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) tidak dibebankan biaya perkara, termasuk biaya eksekusi. Artinya, ketika mendaftar gugatan di PHI dan ketika memohon eksekusi tidak ada pembayaran biaya atau sering disebut SKUM (Surat Kuasa Untuk membayar)/panjar biaya perkara.
Urutan proses penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut.
Pendaftaran Gugatan
Langkan pertama untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah dengan mendaftarkan surat gugatan di Kepaniteraan PHI. Dalam praktek surat gugatan haruslah dibubuhi materai. Tentu sebelum mendaftar sudah dibuat/dibawa surat gugatan asli dan fotocopynya minimal 7 (tujuh) rangkap. Dan jika penggugat memakai jasa kuasa dibawa juga surat kuasa khusus sebagai lampiran. Misalnya kuasa oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh, personalia/hrd perusahaan atau advokat.
Jangan lupa juga dibawa risalah atau anjuran mediator/konsiliator sebagai lampiran surat gugatan (baca Pasal UU N0. 2/2004). Jangan sekali-kali melampirkan (memberi) asli risalah/anjuran mediator/konsiliator. Dalam praktek sering terjadi pihak penggugat melampirkan atau menyerahkan asli risalah atau anjuran mediator.
Hal demikian perlu untuk mengantisipasi manakala gugatan oleh Majelis Hakim dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard, sering disebut N.O), sehingga penggugat masih dapat melampirkan risalah dalam gugatan baru atau gugatan ulang. Selain itu, biaya perkara juga dibawa jika nilai gugatan mencapai Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Untuk kuasa hukum harap memperhatikan surat gugatan jangan sampai N.O. Ada pemahaman umum bahwa jika suatu gugatan N.O maka kesalahan terletak pada kuasa hukum, dianggap tidak mampu membuat atau menyusun isi surat gugatan. Beda dengan gugatan ditolak. Jika gugatan ditolak tidak semata-mata kesalahan kuasa hukum tapi karena penggugat prinsipal (penggugat lansung) tidak memiliki bukti yang cukup.
Panggilan Sidang
Setelah gugatan didaftarkan maka dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja majelis hakim melakukan sidang pertama [baca Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) UU N0. 2/2004]. Tentu sebelum persidangan berlangsung para pihak sudah dipanggil oleh jurusita untuk datang menghadiri persidangan. Itu menurut undang-undang. Dalam praktek sering terjadi sampai 1 (satu) bulan baru majelis hakim melakukan sidang pertama. Hal itu disebabkan pihak penggugat dan/atau tergugat berdomisili berbeda kota/kabupaten dengan kantor PHI.
Misalnya gugatan didaftar di PHI Bandung, penggugat dan/atau tergugat berdomisili di Kabupaten Bekasi, maka untuk memanggil para pihak “harus” dengan cara delegasi yaitu, PHI Bandung mendelegasikan (meminta bantuan) panggilan ke PN Bekasi untuk memanggil penggugat dan/atau tergugat.
Sidang Pertama
Empat belas (14) hari atau sekitar 21 (dua puluh satu) hari setelah pendaftaran gugatan, biasanya sudah dimulai sidang pertama. Dalam sidang pertama ini Majelis Hakim akan meminta dan para pihak akan memperlihatkan dan menyerahkan surat-surat/dokumen sebagai berikut:
Jika yang hadir/maju dipersidangan adalah buruh itu sendiri atau sering disebut prinsipal menyerahkan:
Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (asli diperlihatkan kepada Majelis Hakim);
Jika yang hadir/maju dipersidangan adalah pengusaha itu sendiri seperti direksi PT, CV, Firma, atau pengurus yayasan/koperasi atau sering disebut prinsipal menyerahkan:
Fotocopy Kartu Tanda Penduduk direksi/pengurus perusahaan yang hadir (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Fotocopy Anggaran Dasar dan/atau perubahan Anggaran Dasar perusahaan/yayasan/koperasi yang di dalamnya tercantum nama direksi/pengurus perusahaan yang hadir atau maju ke persidangan sebagai direksi atau pengurus (asli diperlihatkan kepada Majelis Hakim);
Jika yang hadir/maju dipersidangan adalah kuasa pekerja/buruh dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyerahkan:
Asli surat kuasa khusus;
Fotocopy Kartu Tanda Anggota prinsipal sebagai anggota SP/SB yang sama dengan SP/SB kuasa (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Fotocopy surat keputusan organisasi/pengurus SP/SB yang mencantumkan nama-nama kuasa sebagai pengurus SP/SB (asli diperlihatkan kepada Majelis Hakim);
Fotocopy surat Nomor Bukti Pencatatan SP/SP kuasa dari Disnaker (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim).
Jika yang hadir/maju dipersidangan adalah kuasa pengusaha dari manajemen atau personalia atau HRD menyerahkan:
Asli surat kuasa khusus;
Fotocopy kartu pengenal kuasa dari perusahaan atau kadang kala diminta juga surat keputusan pengangkatan kuasa sebagai karyawan di perusahaan (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Fotocopy Anggaran Dasar dan/atau perubahan Anggaran Dasar perusahaan yang didalamnya tercantum nama direksi atau pengurus perusahaan/yayasan/koperasi yang memberi kuasa (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Jika yang hadir/maju dipersidangan adalah kuasa pengusaha dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyerahkan:
Asli surat kuasa khusus;
Fotocopy Anggaran Dasar dan/atau perubahan Anggaran Dasar perusahaan yang didalamnya tercantum nama direksi atau pengurus perusahaan/yayasan/koperasi yang memberi kuasa (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Fotocopy Surat keputusan pengesahan atau pengangkatan kuasa menjadi pengurus Apindo dari organ atau struktur organisasi yang lebih tinggi seperti Surat Keputusan (SK) Kongres/Munas ke DPN, SK DPN ke DPP, SK DPP ke pengurus tingkat kab/kota (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Fotocopy Sertifikat atau surat tanda anggota perusahaan sebagai anggota Apindo (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Jika yang hadir/maju dipersidangan adalah kuasa pekerja/buruh seseorang atau beberapa orang Advokat menyerahkan:
Asli surat kuasa khusus;
Fotocopy Kartu Advokat (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Fotocopy Berita Acara Sumpah dari Pengadilan Tinggi (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim).
Jika yang hadir/maju dipersidangan adalah kuasa pengusaha seseorang atau beberapa orang Advokat menyerahkan:
Asli surat kuasa khusus;
Fotocopy Kartu Advokat (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim);
Fotocopy Berita Acara Sumpah dari Pengadilan Tinggi (asli diperlihatkan ke Majelis Hakim).
Fotocopy Anggaran Dasar dan/atau perubahan Anggaran Dasar perusahaan yang didalamnya tercantum nama direksi atau pengurus perusahaan/yayasan/koperasi yang memberi kuasa (asli diperlihatkan kepada Majelis Hakim);
Dalam praktek, penggugat atau tergugat atau kuasanya, khususnya bagi pemula bersidang di PHI, saat memeriksa kelengkapan dokumen tersebut di atas, sering pihak lawan (penggugat atau tergugat) hanya duduk di kursinya tanpa menghampiri meja majelis hakim untuk ikut memeriksa kelengkapan surat kuasa, sehingga pihak yang hanya duduk di kursinya tidak tahu seperti apa isi (kebenaran) surat kuasa dan kelengkapannya seperti nama kuasa, alamat kuasa, keanggotaan SP/SB, keanggotaan Apindo, SK kepengurusan di SP/SB, SK kepengurusan di Apindo, dll.
Jika kelengkapan surat-surat atau dokumen tersebut sudah terpenuhi maka majelis hakim memerintahkan penggugat atau kuasa penggugat membacakan surat gugatannya. Dalam banyak praktek surat gugatan tidak dibacakan tapi penggugat atau kuasa hukum hanya mengucapkan “dianggap dibacakan yang mulia”. Pembacaan surat gugatan dalam sidang pertama ini bisa terlaksana jika tergugat hadir. Jika tergugat tidak hadir maka pembacaan surat gugatan akan diundur sampai sidang berikutnya (sidang kedua). Pengunduran sidang pertama ke sidang kedua dalam praktek bisa 7 hari (1 minggu), 14 hari (2 minggu), atau 21 hari kemudian. Tujuh (7) hari jika tergugat berdomisili sekota dengan domisili PHI. Empat belas (14) hari atau 21 hari jika tergugat berdomisili di kota/kabupaten diluar kota dimana PHI berkedudukan karena panggilan dilakukan dengan cara delegasi. Misalnya PHI Bandung mendelegasikan panggilan ke PN Cibinong untuk memanggil tergugat yang beralamat/berdomisili di wilayah Kabupaten Bogor.
Selesai gugatan dibaca, sebelum sidang ditutup, maka ketua majelis hakim akan memerintahkan para pihak untuk hadir lagi dalam persidangan berikutnya (tanggal disebut) tanpa dipanggil dengan menyebut acara dalam persidangan selanjutnya.
Sidang Kedua
Jika dalam sidang pertama pihak tergugat tidak hadir dan dalam sidang kedua ini pihak tergugat hadir maka dalam sidang kedua ini majelis hakim akan memeriksa kelengkapan identitas atau surat kuasa tergugat sebagaimana yang dijelaskan di atas. Jika lengkap maka selanjutnya majelis hakim memerintahkan penggugat membacakan surat gugatannya.
Tapi jika dalam sidang kedua ini pihak tergugat juga tidak hadir majelis hakim biasanya masih memberi toleransi kepada tergugat untuk dipanggil sekali lagi (panggilan ketiga). Hal ini dilakukan untuk meniadakan terjadinya putusan verstek (putusan diluar hadirnya tergugat). Karena dengan adanya putusan verstek maka akan timbul kerugian bagi pihak pengadilan dan penggugat sendiri.
Karena tergugat (setelah putusan verstek) dapat mengajukan perlawan (verzet) atas putusan verstek tersebut. Sehingga perkara yang sudah dijatuhi putusan verstek akan kembali disidangkan seperti memeriksa perkara yang belum pernah diperiksa dan diputus. Tergugat dan PHI menjadi rugi karena 2 kali menyidangkan perkara yang sama.
Anggaplah pihak tergugat tidak hadir dalam sidang kedua ini maka majelis hakim akan mengundurkan sidang dan memanggil tergugat lagi dalam 7 hari atau 14 hari kedepan untuk acara jawaban dari tergugat.
Sidang Ketiga
Anggaplah tergugat hadir dalam sidang ketiga ini maka majelis hakim akan memeriksa kelengkapan identitas atau surat kuasa tergugat sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dan dalam sidang ketiga ini, hadir atau tidak hadir tergugat, majelis hakim akan meminta penggugat untuk membacakan surat gugatannya. Karena penggugat dan tergugat hadir maka untuk sidang berikutnya para pihak tidak dipanggil lagi. Dan sidang berikutnya adalah acara jawaban dari tergugat.
Sidang Keempat
Jika dalam sidang ketiga tergugat hadir maka seharusnya untuk sidang keempat ini tergugat membacakan surat jawabannya. Namun pernah terjadi fakta bahwa dalam sidang ketiga tergugat hadir tapi dalam sidang keempat, yang seharusnya acara jawaban dari tergugat, tergugat tidak hadir tanpa alasan atau karena alasan misalnya kuasanya sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, maka majelis hakim akan menunda persidangan.
Sidang Kelima
Dalam sidang kelima ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir, maka majelis hakim akan meminta tergugat untuk membacakan surat jawabannya. Setelah selesai dibacakan atau dinyatakan dianggap dibacakan, majelis hakim akan menyampaikan bahwa untuk sidang yang akan datang adalah acara replik dari penggugat. Replik adalah tanggapan penggugat atas jawaban tergugat.
Sidang Keenam
Dalam sidang keenam ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir, maka majelis hakim akan meminta penggugat untuk membacakan surat repliknya. Setelah replik selesai dibacakan atau dinyatakan dianggap dibacakan, majelis hakim akan menyampaikan bahwa untuk sidang yang akan datang adalah acara duplik dari tergugat.
Sidang Ketujuh
Dalam sidang ketujuh ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir, maka majelis hakim akan meminta tergugat untuk membacakan surat dupliknya. Selesai dibacakan atau diucapkan “dianggap dibacakan” ketua majelis hakim memerintahkan para pihak untuk hadir kembali dalam persidangan berikutnya (tanggal disebut) dengan acara pembuktian. Biasanya ketua majelis hakim akan bertanya kepada para pihak apakah bukti surat yang diajukan penggugat dan tergugat banyak dan apakah ada saksi, berapa orang saksi dari penggugat dan tergugat.
Jika bukti surat dari penggugat dan tergugat dianggap sedikit dan saksi hanya 1 (satu) atau 2 (dua) orang mungkin atas pertimbangan majelis hakim bisa acara pembuktian surat dan saksi sekaligus pada persidangan berikutnya (1 hari). Namun kalau bukti surat banyak dan saksi juga banyak dan mungkin juga ada ahli biasanya majelis hakim atas pertimbangan kecukupan waktu, mungkin acara pembuktian tidak cukup 1 (satu) kali sidang tapi bisa 2 (dua) sampai 4 (empat) kali sidang.
Kalau bukti surat banyak maka ketua majelis hakim akan memerintahkan hanya penggugat dahulu yang mengajukan bukti surat dalam persidangan berikut. Bukti surat dari tergugat diajukan dalam acara persidangan berikutnya. Demikian juga pemeriksaan saksi-saksi.
Sidang Kedelapan
Dalam sidang kedelapan ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir, maka majelis hakim akan meminta pihak penggugat untuk menyampaikan alat bukti surat penggugat. Penggugat dan tergugat wajib membuat surat pengantar bukti surat. Surat pengantar berisi nomor bukti, kode bukti, nomor/tanggal/perihal surat/kutipan inti surat yang hendak ditonjolkan, untuk membuktikan dalil apa, keterangan. Juga fotocopy surat dimateraikan di kantor pos.
Kepada majelis hakim wajib diperlihatkan asli bukti surat, kalau ada. Penggugat hanya berkewajiban memberikan fotocopy surat pengantar bukti surat kepada tergugat. Dan sebaliknya juga demikian, tergugat hanya berkewajiban memberikan fotocopy surat pengantar bukti surat kepada penggugat. Fotocopy bukti surat tidak diserahkan kepada lawan.
Sidang Kesembilan
Dalam sidang kesembilan ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir, maka majelis hakim akan meminta pihak tergugat untuk menyampaikan alat bukti surat tergugat. Lalu sidang diundur 7 hari berikutnya untuk acara pemeriksaan saksi dari pihak penggugat.
Sidang Kesepuluh
Dalam sidang kesepuluh ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir, maka majelis hakim akan meminta pihak penggugat untuk mengajukan saksi penggugat untuk didengar keterangannya. Lalu sidang diundur 7 hari berikutnya untuk acara pemeriksaan saksi dari pihak tergugat.
Sidang Kesebelas
Dalam sidang kesebelas ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir, maka majelis hakim akan meminta pihak tergugat untuk mengajukan saksinya untuk didengar keterangannya. Lalu sidang diundur 7 hari berikutnya untuk acara penyampaian kesimpulan dari pihak penggugat dan pihak tergugat.
Sidang Keduabelas
Dalam sidang keduabelas ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir, maka majelis hakim akan meminta pihak pihak penggugat dan pihak tergugat untuk menyampaikan surat kesimpulan. Tidak ada kewajiban para pihak memberi fotocopy surat kesimpulan kepada lawan. Lalu sidang diundur 14 hari berikutnya untuk acara pengucapan atau pembacaan putusan ole majelis hakim.
Sidang Ketigabelas
Dalam sidang ketigabelas ini pihak penggugat dan pihak tergugat hadir atau salah satu pihak tidak hadir atau kedua belah pihak tidak hadir, maka majelis hakim mengucapkan atau membacakan putusannya.
Penyelesaian Perselisihan Melalui Kasasi ke Mahkamah Agung
Pasal 110 UU No. 2/2004 berbunyi sebagai berikut: “Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
Bagi pihak yang hadir terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
Bagi pihak yang tidak hadir terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.”.
Pasal 110 ini mempunyai arti paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pembacaan putusan wajib mengajukan permohonan kasasi disertai dengan pemberian memori kasasi di Kepaniteraan PHI pemutus perkara (gugatan). Jika dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja itu dilewati maka putusan itu menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat dimohon untuk dieksekusi.
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi (Pasal 115 UU No. 2/2004.
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengatur kebolehan melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung terhadap perkara yang diputus Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dan perkara yang diputus Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.
Namun dalam praktik sejak peradilan hubungan industrial beroperasi tahun 2006 terhadap perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja diterima, diadili, dan diputus Mahkamah Agung, salah satu pihak atau para pihak dapat menggunakan upaya hukum PK. Hal itu didasarkan pada ketentuan Pasal 67 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut:
“Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”.
Namun kemudian, berdasarkan SEMA 3/2018, sejak tanggal 16 November 2018 upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dihapus, tidak ada lagi. Dalam angka II huruf B angka 3 SEMA pada pokoknya menyatakan, "Dalam perkara perselisihan hubungan industrial tidak ada upaya hukum Peninjauan Kembali (PK)".
Sekian. Semoga bermanfaat.
_______
- Tulisan ini disesuaikan tanggal 1 September 2021, dengan adanya SEMA 3/2018.
- Penulis adalah Harris Manalu seorang Advokat di bidang hubungan industrial dan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Bandung tahun 2006-2016.
=======