Dalam hukum acara perdata berlaku asas “hakim bersifat pasif”, artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa, diadili, dan diputus pada asasnya ditentukan pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya.
Dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 107/Pdt.Sus-PHI.G/2019/PN.JKT.PST,
tanggal 7 Agustus 2019, dalam perkara antara PT. Coca Cola Distribution
Indonesia sebagai penggugat melawan pekerjanya Budi Fitrianto sebagai tergugat,
tampak pada posita dan petitum gugatan tidak ada dalil dan tuntutan supaya
hakim atau pengadilan menjatuhkan putusan menghukum penggugat (pengusaha) untuk
membayar selisih antara kompensasi pemutusan hubungan kerja berdasarkan
ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dengan kompensasi pengunduran diri yang telah dibayarkan oleh penggugat
(pengusaha) kepada tergugat (pekerja), tapi majelis hakim menjatuhkan putusan
atas hal yang tidak dituntut atau diminta penggugat tersebut.
Pertimbangan hukum dan amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 107/Pdt.Sus-PHI.G/2019/PN.JKT.PST, tanggal 7 Agustus 2019, lebih kurang sebagai berikut:
= 1 x 9 x Rp17.836.455,00 = Rp 160.528.095,00
= 1 x 8 x Rp17.836.455,00 = Rp 142.691.640,00
= 15% x Rp303.219.735,00 = Rp 45.482.960,25
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan kasasi dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
"Bahwa putusan Judex Facti yang menghukum Penggugat untuk membayar selisih antara kompensasi PHK berdasarkan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan kompensasi pengunduran diri yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat adalah keliru dan merupakan ultra petita;”